Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

Menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî, sejak remaja dia sudah mempunyai jiwa yang skeptis dan kritis. Justru itu, dia selalu terdorong untuk menuntut ilmu ke berbagai kota agar tahu banyak tentang bermacam-macam paham dan aliran agama. Dengan memperoleh banyak pengetahuan tentang bermacam-macam aliran, Imâm al-Ghazâlî merasa telah lepas dari belenggu taklid, yaitu mengikuti apa yang harus diyakini tanpa mengetahui dasar argumennya.

Menurut pengamatan Imâm al-Ghazâlî, taklidlah yang mendasari keberagaman umat manusia pada mulanya. Karena anak Yahudi cenderung menjadi penganut Yahudi, anak Kristen menjadi Kristen dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Justru itu, Imâm al-Ghazâlî dengan jiwanya yang kritis terdorong untuk meneliti sehingga jelas keyakinan agama yang dianut seseorang termasuk unsur yang esensial (fithrah) atau termasuk unsur kultural ini bisa berbeda antara yang hak dan yang batil. Dorongan meneliti itu ditambah lagi dengan implikasi banyaknya ilmu pengetahuan tentang berbagai paham dan aliran agama yang sudah diperolehnya, yaitu adanya kesetaraan argumen (tafakû al-Adillâh) di antara aliran-aliran tersebut. Hal ini secara implisit dapat diperoleh dari pengakuan Imâm al-Ghazâlî selanjutnya

Akan tetapi, untuk mengetahui kebenaran (hakikat) sesuatu, diperlukan pengetahuan yang menyakinkan terhadap sesuatu itu. Keyakinan yang sampai ke tingkat matematik seperti keyakinan bilangan sepuluh lebih besar dari tiga, yang tidak tergoyahkan lagi oleh intimidasi apapun. Pengetahuan yang meyakinkan seperti contoh tersebut itu tidak dimilikinya, kecuali dari sumber indrawi (hissîyah) dan pemikiran keniscayaan (dharurîyah). Dengan demikian berarti Imâm al-Ghazâlî sudah mencoba berbagai sumber pengetahuan yang biasa dipergunakan oleh para intelektual waktu itu seperti akal dan indera, teks-teks al-Qur’ân, hadis, dan postulat-postulat yang umum diterima masyarakat pada waktu itu. Hasilnya, semua itu diragukan kredibilitasnya sebagai sebagai sumber pengetahuan yang meyakinkan dirinya. Termasuk teks-teks al-Qur’an dan hadis yang diambil pengertian lahirnya karena masih adanya pertentangan pendapat dengan dalil yang sama. Namun, kedua sumber yang masih dipegangnya berupa indrawi dan pikiran keniscayaan (dharûrî) masih diragukan setelah diuji lagi kredibilitasnya. Indera penglihatan (indera yang terkuat pada manusia) diragukan kredibilitasnya karena masa sering tertipu. Sebagai contoh, pengamatan terhadap bayang-banyang satu benda yang terlihat tetap di tempat, padahal bergerak secara gradual. Kredibilitas akal diragukan karena adanya kasus mimpi yang menganggap adanya sesuatu, tetapi setelah terjaga, sesuatu itu sebenarnya tidak ada wujudnya. Hal ini terjadi karena adanya anggapan manusia sewaktu hidup adalah seperti sedang tidur dan bermimpi dan setelah mati dia dianggap terjaga dari tidurnya. Dengan tertolaknya kredibilitas kedua sumber pengetahuan yang masih dipegangnya, Imâm al-Ghazâlî meras tidak mempunyai pegangan lagi, dan jadilah dia seorang yang Sophist. Krisis kejiwaan ini berlangsung selama dua bulan dalam perkembangan spriritual Imâm al-Ghazâlî. Dia baru sembuh setelah mendapat ilham dari Tuhan secara langsung yang berisi agar dia tetap meyakini kredibilitas dhârurî sebagai dasar pengetahuan yang meyakinkan. Menurut Imâm al-Ghazâlî, pikiran dhârurî itu sebenarnya sudah ada pada setiap orang dan juga pada dirinya. Akan tetapi, karena jiwanya skeptis, dia pun masih harus mencarinya. Mencari sesuatu yang semestinya tidak perlu dicari.

Dengan berpegang pada kredibilitas dhârur, Imâm al-Ghazâlî mulai melangkah meneliti secara partisipan terhadap empat golongan yang dianggapnya mempunyai metode tersendiri untuk memperoleh pengetahuan terhadap hakikat segala sesuatu. Golongan yang dimaksud adalah golongan teolog (mutakallimûn), golongan Bathînîyah, golongan filsuf, dan golongan sufi.

Pertama kali Imâm al-Ghazâlî mulai mengikuti kegiatan para teolog. Dia telah menghasilkan beberapa karya tulis di bidang kalam. Akan tetapi, setelah dia melihat kerja para teolog itu hanya sibuk mengumpulkan argumen-argumen lawan pahamnya, untuk dibantah dengan argumen sendiri yang dianggapnya lebih rasional. Menurut Imâm al-Ghazâlî, kalam hanya berpretensi untuk membentengi akidah yang benar, yang bersumber dari al-Qur’andan hadis dari gangguan ahli bid´ah dengan cara rasional. Akan tetapi, untuk menumbuhkan akidah yang benar pada umat yang belum atau tidak menganutnya, kalam tidak bisa dipercaya berhasil melakukannya. Oleh karena itu, Imâm al-Ghazâlî menilai bahwa metode para teolog tidak bisa memuaskan tuntutan jiwanya. Keinginannya menuntutnya untuk mencari pengetahuan yang meyakinkan agar hakikat kebenaran terbuka secara tuntas, meskipun dia menyadari ada yang cukup puas dengan hasil kerja para teolog itu.

Selanjutnya Imâm al-Ghazâlî meneliti pula kerja para filosof dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai dapat menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filosof. Akan tetapi, hasil kajian ini pada kesimpulan bahwa metode rasional para filosof tidak bisa dipercaya untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat suatu bidang metafisika (ilahîyah) dan sebagian dari ilmu fisika (thabi´îyah) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Imâm al-Ghazâlî tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat di bidang-bidang lain seperti logika dan matematika dengan memberi beberapa catatan untuk menangkal ekses-ekses yang bisa ditimbulkannya. Dengan demikian, Imâm al-Ghazâlî pun meninggalkan metode filosof.

Kemudian Imâm al-Ghazâlî mencoba pula mencari kebenaran di kalangan Bathînîyah. Mula-mula dengan mempelajari segala aspek ajarannya. Bertepatan pula hal ini dengan adanya permintaan dari pihak khalifah ´Abbâsîyah untuk menulis tentang doktrin-doktrin golongan ini. Menurut Imâm al-Ghazâlî, golongan ini menolak kredibilitas akal dalam masalah agama, karena adanya pertentangan-pertentangan pendapat yang dihasilkannya. Justru itu mereka hanya berpegang kepada ajaran dari imam yang ma’shûm (terbebas dari kesalahan), yang menerima langsung ajarannya dari Allah melalui Nabi Muhammad. Mengikuti metode mereka itui pun mencari-cari dimana gerangan imam yang ma’shûm itu berada, untuk bisa diperoleh ajaran-ajarannya. Ternyata tidak bisa ditemukannya. Justru itu Imâm al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa para pengikut Bathînîyah dalam keadaan tertipu. Metode mereka tidak bisa sampai kepada suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat segala sesuatu. Oleh karena itu, metode ini pun ditinggalkannya.

Akhirnya, Imâm al-Ghazâlî mau mencoba metode yang dipergunakan para sufi yang terdiri dari dua aspek, yaitu yang terdiri dari ilmu dan amal. Dari segi ilmu, Imâm al-Ghazâlî merasa sudah memilikinya karena sudah mempelajari dan banyak karya sufi yang terdahulu sudah dibacanya. Akan tetapi, Imâm al-Ghazâlî merasa lebih berat mengamalkannya dari pada memburu ilmunya karena ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk mempraktekkannya. Di antaranya dengan memalingkan diri dari segala bentuk kemuliaan status (jah) dan harta benda dan menjauhkan diri dari segala bentuk ikatan dan kesibukan. Malah dia merasa bahwa motivasi (dasar niat) memberi kuliah dan kegiatan ilmiah lainnya tidak ikhlas karena Allah, tetapi untuk memperoleh kemuliaan status dan ketenaran nama. Justru itu Imâm al-Ghazâlî merasa berat sekali untuk mencoba metode terakhir yang akan dicobanya setelah merasa tidak puas terhadap ketiga metode sebelumnya. Dalam situasi seperti ini Imâm al-Ghazâlî mengalami krisis kejiwaan kedua kalinya, malah lebih parah dibandingkan dengan krisis yang pernah dialami sebelumnya. Krisis kejiawaan ini berpangkal dari pergulatan antara dua kepentingan yang berbeda secara diametral di dalam jiwanya, yang masing-masing selalu mendapatkan dukungan dari bisikan-bisikan halus yang silih berganti menyelinap ke dalam hati sanubarinya. Jadilah hatinya ajang pertarungan antara tarikan dunia dan tuntutan jiwa untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, yang dicarinya beberapa tahun. Krisis kejiwaan ini berlangsung sekitar enam bulan, dan sampai mengakibatkan fisiknya jatuh sakit. Lidahnya untuk beberapa lama kejang dan tidak bisa bersuara. Setelah para dokter sudah putus asa menyembuhkannya, Imâm al-Ghazâlî menyerahkan segala persoalan jiwanya kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya. Ternyata Allah mengabulkan permohonannya. Imâm al-Ghazâlî bisa sembuh dan merasa mendapat kemudahan untuk bisa meninggalkan jabatan, kemuliaan status, dan kemewahan hidup yang kesemuanya merupakan hasil karier intelektualnya selama ini. Dia merasa mudah untuk memenuhi tuntutan jiwanya selama ini, dengan harapan dapat memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Inilah isi pengakuan Imâm al-Ghazâlî tentang sebab tindakan untuk meninggalkan Baghdad menuju Damaskus pada tahun 499 H. (1095) yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan faktor politik.

Imâm al-Ghazâlî mulai menjalani kehidupan sebagai seorang sufi pada usia 38 tahun untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan dirinya. Dia tinggalkan kota Baghdad karena di sini terdapat hal-hal yang mengikat dirinya pada kelezatan hidup di dunia yang merintangi jalan menjadi sufisme secara baik. Setelah memberikan biaya hidup secukupnya kepada keluarga yang ditinggalkannya, Imâm al-Ghazâlî mulai safarinya yang panjang ke berbagai kota dan negeri Islam sebagai seorang sufi. Ada dua negeri yang dengan jelas disebutnya sebagai tempat yang disinggahinya. Mula-mula dia berada di Syam (Syiria) selama lebih kurang dua tahun melakukan uzlah (isolasi diri), khalwat (nyepi dengan ibadah), riyâdhah (melatih diri dengan segala sifat yang baik dan meninggalkan segala sifat yang tercela), dan mujâhadah (berjuang melawan tarikan hawa nafsu). Semuanya dilakukan dalam rangka pembersihan jiwa (tazkîyah al-Nafs), pendidikan akhlak, dan pengisian hati dengan ingat (dzikir) kepada Allah. Hal ini terutama dilakukannya di masjid Damaskus dan Bayt al-Maqdis. Kemudian Imâm al-Ghazâlî pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad di Madinah. Sebelumnya dia juga sudah berziarah ke makam Nabi Ibrahim di Bayt al-Maqdis.

Selama lebih kurang sepuluh tahun atau sekitar sebelas tahun. Menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî dia melakukan praktek sufisme secara intensif meskipun kadang-kadang konsentrasinya buyar karena adanya masalah-masalah yang menarik perhatian dari dunia sekitar. Selama itu Imâm al-Ghazâlî mengaku telah memperoleh banyak pengetahuan yang meyakinkan terhadap hakekat segala sesuatu yang berkenaan dengan akidah sebagaimana yang dicarinya selama ini. Akhirnya, Imâm al-Ghazâlî berkesimpulan bahwa metode para sufi adalah metode yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan sampai ke tingkat matematis. Selama itu pula tidak sedikit karya tulis yang dihasilkan Imam Al-Ghazali terutama di bidang sufisme dan kalam, antara lain Ihyâ´ ´Ulûm al-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) merupakan karyanya yang monumental. Jawâhir al-Qur’an (mutiara-mutiara Al-Qur’an), al-Qisthâs al-Mustaqîm (sebuah teraju yang lurus), dan al-Arba´în fî Ushûl al-Dîn (empat puluh pokok-pokok agama).

Pada tahun 499 H/ 1106 M, menurut pengakuan Imâm al-Ghazâlî timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa dia harus keluar uzlah dari zawîyah (tempat khalwat sufi) karena merajalelanya dekadensi moral dan amal di kalangan umat, malah sampai ke kalangan ulama, sehingga diperlukan penanganan serius untuk mengobatinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhr al-Mulk (putra Nizhâm al-Mulk) untuk ikut mengajar lagi di Nizhâmîyah di Nisabur. Pada tahun itu juga dia mulai lagi mengajar di madrasah tersebut, tetapi dengan motivasi sebagaimana pengakuan Imâm al-Ghazâlî yang sangat berbeda dari motivasi mengajarnya di Nizhâmîyah Baghdad, sekitar 15 tahun sebelumnya. Akan tetapi, Imâm al-Ghazâlî tidak lama mengajar di Nisabur ini, dia pun kembali ke Thûs, tempat kelahirannya. Di sini dia membangun sebuah madrasah untuk mengajar sufisme dan teologi dan sebuah khankah untuk tempat praktikum para sufi di samping rumahnya.

Akhirnya pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M, Imâm al-Ghazâlî meninggal. Telah lahir pula beberapa karya tulisnya di antaranya adalah al-Munqîdz min al-Dhalâl (pembebas dari kesesatan), Iljam al-´Awam ‘an ‘Ilm al-Kalâm (mengendalikan orang awam dari ilmu kalam), dan Minhaj al-‘Âbidîn (metode para ´âbid). Dari isi-isi kitab tersebut tampak bahwa Imâm al-Ghazâlî sampai akhir hayatnya tetap menaruh perhatian kepada bidang-bidang yang pernah ditekuninya seperti filsafat, fikih, kalam, dan sufisme.

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc

Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!