Kesembilan maqam ruhani yang telah disebutkan di awal bukanlah satu hal yang berdiri sendiri. Justru sebagian di antaranya menunjukkan esensi maqam lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam ridha (rela terhadap ketetapan Allah), keduanya merupakan maqam tertinggi.
Di antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat dan zuhud, maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, taubat itu merupakan tindakan kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari Allah) menuju jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-Nya, rasa takut (al-Khauf) merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-Nya.
Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma'rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma'rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat mati.
Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri.
Allah Swt. berfirman:
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاَقِيْكُمْ. (الجمعة: ٨)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.”.
Menurut Imâm al-Ghazâlî mati merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun yang luar biasa melebihi kematian. Mengingat mati besar manfaatnya. Kematian dapat mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada dunia. Membenci duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan.
Bagi orang arif mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat.
Orang yang mencintai sesuatu pasti akan merindukannya. Rindu pada hal-hal yang bisa diraba, pengertiannya adalah penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada penyaksian langsung. Rasa rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan mata. Segala sesuatu yang berhubungan dengan akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang arif diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai. Dia merindukan kesempurnaan itu melalui tajalli dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan maut, karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan Allah Swt., bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya.
Selain itu, orang yang arif tidak pernah berhenti menyebut dan mengingat Allah dan tidak lagi merasakan rasa takut (khauf) dan rasa berharap (raja'), karena khauf dan raja' itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana la akan mengingat mati, padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt., baginya rendah dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan yakin
Seseorang itu tidak akan mengetahui hakikat mati sebelum mengetahui tentang hakikat hidup. Dan dia tidak akan pernah mengetahui hakikat hidup sebelum mengetahui tentang ruh. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri manusia. Allah berfirman:
...وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِى....(الحجر: ٢٩)
"…Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku…." (Q.S. al-Hijr: 29).
Maksud ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh, menyebar ke seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari situ mengalir cahaya indera penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh kekuatan dan indera-indera lainnya. Sebagaimana cahaya matahati yang menyinari seluruh sisi rumah. Ruh ini sama dengan ruh binatang, la bisa menjadi binasa dengan maut. Ruh semacam ini menjadi binasa dengan terputusnya makanan, karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi lampu. Pembunuhan terhadapnya seperti tiupan pada lampu. Ruh semacam ini, kesehatan dan stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma'rifat dan amanat.
Sedang ruh yang memikul amanat itu adalah ruh istimewa manusia (al-Rûh al-Hasanah lil insân). Yang kami maksudkan dengan amanat adalah penguasaan terhadap janji taklif, dalam bentuk keterbukaan terhadap kemungkinan memperoleh pahala dan siksa dengan kepatuhan dan kedurhakaan. Ruh ini tidak pernah mati dan tidak pula binasa, malah justru kekal setelah mati. Baik itu dalam kesenangan dan kebahagiaan ataupun dalam kesusahan dan kesengsaraan. Itulah ruh tempat memikul ma'rifat dan amanah. Imâm al-Ghazâlî menyebutkan ada tiga klasifikasi siksa akhirat, yaitu:
a) Pedihnya perpisahan dengan apa yang dicintai atau disenangi.
b) Terbukanya kejelekan yang memalukan.
c) Penyesalan atas hilangnya apa yang disenangi dan dicintai.
Dari tiga klasifikasi di atas dapat ditarik penjelasan bahwa manusia hidup di dunia ini sudah pasti memiliki sesuatu yang disenangi dan disukai, baik itu berupa benda, kekuasaan, kehormatan, dan sebagainya. Yang dengannya ia merasakan kebahagiaan. Namun ketika ajal datang menjemput maka semua yang disenanginya akan terpisah dari dirinya. Yang ada hanyalah kesedihan dan kepedihan. Dan bila di dunia ia mempunyai banyak dosa karena suka berbuat maksiat. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mengetahui akan kemaksiatannya itu, maka di akhirat nanti apa yang telah disembunyikannya itu akan terbuka karena setiap anggota akan bersaksi di hadapan Allah dengan kesaksian yang sebenar-benarnya. Maka terbukalah aibnya dan dia akan dihinakan karena telah menjadi hamba Allah yang suka berbuat maksiat.
Posting Komentar