Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

Mar 01

Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Mâidah ayat 199:

ِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضْوْا عَنْهُ (المائدة: ۱۱٩)

“…Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya….” (Q.S. al- Mâidah: 199)

Rasulullah Saw. bersabda:

اذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْداً اِبْتَلاَهُ, فَإِنَّ صَبَرَ اِجْتِبَاهُ, وَإِنْ رَضِىَ اِصْطَفَاهُ.

“Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya, dan bila ridha Dia mengutusnya.”

Sekelompok ulama mengingkari adanya ridha terhadap qadha' Allah SWT.Mereka berkata, "Ridha terhadap qadha' tidak mungkin digambarkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan nafsu. Sedangkan yang bisa digambarkan hanyalah sabar."

Tanda-tandanya adalah ridha terhadap bencana dan ridha terhadap realita yang kontra. dengan watak serta kesenangan. Bentuk ridha ini ada tiga arah.

Arah pertama, bila seseorang dibuat tercengang oleh penyaksian cinta secara langsung, dan berpaling dari rasa sakit. Ini adalah bentuk musyahadah langsung dari cinta manusia ketika dikuasai oleh amarah, ambisi dan nafsu syahwat, bahkan pada saat marah, la tidak merasakan luka yang mengenai dirinya. Orang yang tamak tidak merasakan rasa sakit ketika kakinya tertusuk duri. Sebaliknya, bila amarahnya telah reda dan apa yang dituju oleh si tamak itu telah digapai, rasa sakit itu menjadi-jadi.

Arah kedua, bila seseorang merasakan kepedihan dan secara naluri tidak menyukainya. Hanya saja ia ridha, disebabkan akal pikiran dan imannya, karena tahu banyaknya pahala disebabkan oleh kesusahan atau bencana. Seperti halnya orang sakit yang rela dioperasi dan minum obat. Karena dia tahu bahwa itu adalah faktor yang dapat menyembuhkan, bahkan ia merasa gembira bila ada orang yang menghadiahkan obat kepadanya, walaupun pahit.

Jadi, orang yang yakin bahwa imbalan pahala bencana (kesusahan) lebih besar dari apa yang dideritanya, tentu ia akan bersikap ridha.

Arah ketiga, bila seseorang itu yakin bahwa di balik segala sesuatu itu atas kehendak Allah, maka dia tidak akan heran terhadap segala hal yang menimpanya, dan akan ridha terhadap kepastian Allah.

Imâm al-Ghazâlî berpendapat bahwa ridha dan benci merupakan dua hal yang bertolak belakang bila menimpa satu hal, dari satu arah. Keduanya tidak bertolak belakang atau bertentangan. Misalnya perbuatan maksiat, la memiliki dua segi: Satu segi dikembalikan kepada Allah, yakni dari sisi bahwa perbuatan maksiat itu terjadi atas qadha' dan kehendak Allah Swt. Dari segi ini maksiat itu diridhai. Segi kedua dikembalikan kepada pelaku maksiat tersebut, yakni dari sisi bahwa maksiat tersebut adalah sifat dirinya dan hasil perbuatannya. Karena maksiat itu dibenci oleh Allah, maka dari segi ini maksiat dibenci. Allah Swt. telah menjadikannya sebagai hamba dengan membenci siapa yang membenci-Nya, di antara orang­-orang yang mendurhakai dan melanggar perintah-Nya. Maka, dia sebagai orang yang dijadikan hamba oleh Allah dengan hal tersebut, harus mematuhi perintah-Nya.

Ini adalah persoalan yang Samar. Orang-orang lemah selalu tergelincir di situ, karenanya mereka berbicara tentang hal tersebut secara serampangan. Selain itu, tidak layak bila seseorang itu menduga bahwa pengertian ridha terhadap qadha' Allah adalah orang yang meninggalkan doa kepada Allah, bahkan membiarkan anak panah yang mengarah kepadanya sehingga mengenai dirinya, padahal dia mampu menahannya dengan perisai. Justru doa sebagai refleksi ibadahnya agar dari kalbunya memancar dzikir yang murni, kekhusyu'an dan kehalusan kalbu demi kesiapannya menerima kelembutan-kelembutan dan cahaya-­cahaya.

Di antara bentuk ridha terhadap qadha' Allah ialah berhubungan dengan kekasihnya melalui berbagai sebab yang bisa sampai kepada sang kekasih. Ia juga meninggalkan sebab-sebab yang bertentangan dengan apa yang diinginkan kekasihnya itu, demi ridhanya.

Keengganan orang haus meminum air dingin, karena beranggapan bahwa dirinya ridha dengan rasa haus, sebagai salah satu qadha' Allah Swt. Padahal, qadha' dan kecintaan Allah justru perilaku menghi­langkan rasa haus dengan air tersebut. Demikian juga tindakan keluar dari peraturan-peraturan syariat dan dari Sunnatullâh juga bukan perilaku ridha terhadap qadha' Allah Swt. Justru pengertian dari sikap ridha adalah tidak menentang terhadap Allah Swt. baik secara lahir maupun batin. Ridha berarti pula mengerahkan seluruh tenaga untuk berhubungn segala hal yang dicintai Allah Swt., dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya.

Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!