Bahkil adalah penyakit hati yang sangat kronis dan riskan.
Allah berfirman:
وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولئِكَ هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ (الحشر: ٩)
“Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. al-Hasyr: 9).[50]
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ (ال عمران: ۱٨۰)
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu bik bagi mereka.” (Q.S. Âli-Imrân: 180)[51]
اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ (النساء: ٣۷)
“(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir…” (Q.S. al-Nisâ’: 37).[52]
Rasulullah bersabda,
ِايَّاكُمْ وَالبُخل, فَأِنَّهُ اَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Jauhilah sifat bakhil, karena sesungguhnya sifat bakhil itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kamu.” [53]
Imâm al-Ghazâlî mengatakan bahwa sesungguhnya sumber sifat bakhil itu lantaran cinta harta, sebagaimana sifat tercela. Dan orang yang tidak mempunyai harta tidak akan tampak kebakhilannya dengan keengganan bersedekah, tetapi akan tampak dengan adanya orang yang cinta terhadap harta. Betapa banyak orang berderma, tetapi hatinya sangat terpaut dan cinta pada harta. Sehingga bila berderma, yang diharapkannya adalah agar dirinya disebut dermawan. Inipun tercela dalam agama. Karena cinta dunia membuat hati lupa berdzikir kepada Allah, berpaling pada kepentingan duniawi, dan tidak suka pada kematian yang merupakan wahana bertemu Allah.[54]
Bagaimana harta sepenuhnya tercela? Sedangkan seseorang itu berpergian menuju Allah, dan kehidupan dunia hanyalah salah satu fase perjalanannya, fisiknya adalah kendaraannya? Dapatkan melakukan perjalanan menuju Allah tanpa harta, dan kuatkah fisik menjadi kendaraan tanpa makan dan pakaian? Tentu saja tidak! Tanpa harta, orang mustahil dapat memiliki dan mengenakan pakaian, serta makan. Tanpa makan dan pakaian, orang tidak akan mungkin mampu untuk melakukan perjalanan menuju Allah. Jika hal ini dapat dipahami seseorang tidak mungkin akan menumpuk kekayaan dan harta melebihi kebutuhannya sebagai bekal perjalanan. Jika mampu seperti itu, dia akan meraih makna kebahagiaan sejati.
Sebagaimana musafir, bila dia mengambil dunia melebihi kebutuhannya sebagai bekal perjalanan, maka dia akan binasa karena terlalu berat memikul beban bekal tersebut. Pada akhirnya justru menghambat perjalanannya bahkan tidak akan sampai ke tujuan semestinya. Sesungguhnya menumpuk harta melebihi kebutuhannya, dapat membinasakan diri, hal ini ditinjau dari tiga sisi:[55]
Pertama: Bahwa menumpuk harta itu cenderung menyeret seseorang ke tebing kedurhakaan dan maksiat, sebab, ujian dengan kemewahan jauh lebih sulit dari pada dengan kesengsaraan. Dan sabar dalam kondisi mampu itu jauh lebih sulit.
Kedua: Cenderung mendorong seseorang untuk hidup berfoya-foya terhadap hal-hal yang memang halal, yang menyebabkan badan gemuk, dan tidak mungkin ada kesabaran di sana.
Ketiga: Cenderung lalai dari mengingat Allah, padahal mengingat Allah merupakan asas kebahagiaan dunia dan akhirat.
Untuk mengatasi sifat bakhil ini Imâm al-Ghazâlî memberikan dua jalan yang saling berkaitan, yaitu:[56]
1. Secara ilmiah
a. Sifat bakhil itu dapat membawa kehinaan di dunia dan kebinasaan di akhirat kelak.
b. Harta itu, berapa pun banyaknya, tidak akan menyertai dan tidak pula kita bawa mati. Ia merupakan milik Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya untuk dipergunakan sesuai dengan petunjuk-Nya.
c. Menahan harta karena ingin berfoya-foya dengannya, merupakan tabiat binatang dan nilainya hanya sementara. Sedangkan menginfakkannya di jalan Allah merupakan perangai yang bijak dan pahalanya akan abadi dan berlipat ganda.
d. Dan bila harta itu tidak diinfakkan dengan maksud untuk diwariskan kepada anak-cucu, seakan-akan seseorang itu meninggalkan kekayaan kepada mereka. Padahal ia sendiri menghadap Allah dengan membawa kejahatan. Ini benar-benar bodoh, bagaimana tidak, seandainya anaknya kelak menjadi anak yang shaleh, Allah pasti akan memcukupi rizkinya. Namun apabila anaknya fasik, pasti harta itu dipergunakan untuk kemaksiatan. Justru harta warisan itu menjadi peluang bagi perbuatan maksiatnya. Hal tersebut akan membuat orang tua menderita, sementara yang lain menikmatinya.
2. Secara Amaliah
a. Untuk sementara waktu tidaklah mengapa bila pertama kali tergiur oleh popularitas dan membayangkan mendapatkan balasan lebih banyak sehingga dapat memotivasi diri untuk senang berinfak.
b. Dengan senantiasa mendisiplinkan diri untuk rajin berinfak, sehingga akhirnya menjadi lapang dan terbiasa.
Posting Komentar