Allah berfirman dalam surat Al-Syûrâ ayat 20:
مَنْ كاَنَ يُرِيْدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِى حَرْثِهِ, وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِى الآخِرَةِ مِنْ نَصِيْبٍ. (الشورى: ۲۰ )
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”
Dan juga hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dari Sahl:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ (رواه ابن ماجه)
”Dari Sahl bin Sa’d al-Sâ’id berkata: “Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi Saw. Kemudian dia bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, Tunjukkan kepadaku perbuatan yang bila kuamalkan Allah SWT.dan mnusia akan suka kepadaku.”Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Zuhudlah terhadap dunia niscahnya kamu dicintai oleh Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscahya kamu akan dicintai mereka.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Menurut Imâm al-Ghazâlî esensi zuhud adalah menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin. Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekedar memenuhi kebutuhan, sekedar biaya penumpang kendaraan. Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekedar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan peralatan rumah tangga.
Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka la tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja, dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud
Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dari jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, la tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.
Tempat tinggal dalam ukuran paling sederhana adalah, jika seseorang itu puas dengan salah satu sudut di dalam masjid. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan. Jadi pada intinya apapun itu harus sesuai dengan kebutuhan.
Imâm al-Ghazâlî membagi zuhud dalam beberapa tingkatan: Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun la terus berjuang dan meneranginya. la adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahid), bukan zahid. Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekalo tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan uangnya, guna mendapatkan permata, meskipun uang itu sangat dicintainya. Inilah hidup zuhud. Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama.
Menurut Imâm al-Ghazâlî hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan mengira bahwa dirinya meninggalkan sesuatu, identik dengan mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apapun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja. Maka la berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu la pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.
Ditinjau dari motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-Khâifûn).
Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (al-Râjûn). lbadah yang berdasarkan rasa harap (al-Râja') lebih utama dari ibadah yang berdasarkan rasa takut (al-Khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah).
Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Allah, sebagai upaya menyucikan diri dari selain Allah dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma'rifatullah (al-‘Ârifûn). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekedar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dari sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda.
Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zuhud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti la meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi. Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dari harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda, maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama.
Hidup zuhud sendiri adalah menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi, sedangkan hati masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama dari pada orang yang diberi kemampuan untuk menguasai harta-benda dan bersenang-senang dengannya hingga la terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia. Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.
Posting Komentar