Allah Swt. berfirman dalam surat al-Taubah ayat: 25
يَوْمَ حُنَيْنِ, اِذْ اَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ (التوبة: ٢٥)
“…dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu…” (Q.S. al-Taubah: 25)
Ibn al-Mas’ûd r.a berkata, “Kebinasaan itu terdapat pada dua hal: putus asa dan rasa takjub diri sendiri.” Hal itu karena orang yang berputus asa tidak akan sudi mencari kebahagiaan. Sedangkan orang yang takjub tidak berambisi lagi untuk mencari kebahagiaan, lantaran merasa dirinya serba cukup dan beruntung.
Imâm al-Ghazâlî berkata, hakikat takjub adalah merasa diri serba berkecukupan dan bangga hati atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna. Apabila dia menyandarkan diri bahwa dirinya merasa benar di sisi Allah, hal itu disebut menonjolkan diri (idlal). Dalam suatu hadis dijelaskan, shalat orang yang disertai idlal derajatnya tidak lebih di atas kepalanya saja. Tanda-tandanya, pada rasa heran terhadap orang yang doanya ditolak, heran pula pada konsistensi ibadat orang yang pernah menyakitinya.
Di sisi lain sifat takjub itu sendiri merupakan induk dari sifat takabur. Sifat takabur berdampak kepada pihak yang ditakaburi, sementara takjub diri hanya terbatas bagi diri sendiri. Orang yang memandang nikmat Allah atas dirinya melalui amal, ilmu dan lainnya, kadang dia sendiri khawatir atas hilangnya nikmat tersebut, di samping merasa bahagia bahwa nikmat itu semata dari Allah, bukan tergolong orang yang takjub diri. Takjub adalah melupakan sandaran nikmat kepada Allah Swt.
Ketika seseorang merasa takjub atas potensi, kecantikan dan kekuasaannya, maka hal itu merupakan suatu kebodohan sejati. Dan terapinya juga dengan ilmu. Sebab, semua itu muncul bukan karena hasil lerih-payahnya, tetapi seharusnya kagum kepada yang memberi nikmat, dirinya tidak berhak. Sebaiknya dia berpikir, bukankah suatu saat kekuatan, kecantikan dan kekuasan itu dapat musnah dalam sekejap mata karena ditimpa penyakit dan kelemahan? Kalau dia takjub pada prestasi ilmu dan amalnya, serta segala usahanya, seharusnya is merenungkan, bahwa semua itu didukung oleh anggota badan, kekuatan, kehendak dan pengetahuan. Padahal semuanya adalah ciptaan Allah Swt.
Apabila Allah mencipta anggota badan kita, kemampuan, mampu mengerjakan berbagai urusan perdagangan, maka hasil pekerjaan tersebut bersifat darurat dan terpaksa belaka. Orang yang terpaksa tidak layak takjub diri terhadap hasil yang diusahakan secara terpaksa. Ia terpaksa dalam lkhtiarnya, jika mau da tidak melakukannya. Tetapi manakala Allah Swt. berkehendak, mau atau tidak, kapan pun akan tercipta kehendak-Nya.
Allah Swt.berfirman:
وَمَا تَشَاءُوْنَ اِلاَّ اَنْ يَشَاءَ اللهِ (التكوير: ٢٩)
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali jika Allah menghendaki." (Q.S. al-Takwîr: 29).
Menurut Imâm al-Ghazâlî kunci dari kerja adalah terwujudnya kehendak, didukung perangkat yang ada, disertai kemampuan dan fisik yang sempurna. Semua itu ada pada kekuasaan Allah Swt. Yang mengherankan, jika orang berilmu dan berakal merasa terkesima dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Bahkan manakala kecerdasan dan prestasi kekayaan terkumpul dalam diri seseorang, sementara kebodohan terhindar darinya, tentu kondisi seperti itu semakin mengherankan. Seperti dalam kasus keheranan orang yang diberi kuda oleh raja, dan orang lain diberi budak. Orang tersebut lalu bicara, "Bagaimana raja memberi budak itu kepada seseorang padahal la tidak memiliki kuda, sedang aku punya kuda?"
Padahal dia memiliki kuda atas pemberian raja. Lalu pemberian itu dia jadikan alibi untuk meraih hak pemberian yang lain. Tentu hal ini suatu kebodohan.
Orang pandai selamanya merasa kagum pada karunia Allah. Karena kedermawanan-Nya yang telah memberikan kepandaian dan ilmu, memberikan pertolongan mampu beribadah tanpa meminta haknya. Padahal karunia seperti itu tidak diberikan kepada orang lain, malah orang lain terlibat tindak kerusakan. Sedang dirinya mampu mengerjakan kebaikan. Dan tindakan tersebut tidak didahului oleh tindak kriminal.
Jika seseorang menyaksikan secara benar semua itu, pasti dia takut berbangga diri. Sebab kadang-kadang dia berkata, “Allah benar-benar memberikan nikmat kepadaku di dunia tanpa perantara. Dan Allah memberi keistimewaan kepadaku tidak kepada orang lain.” Orang yang berkata demikian, tanpa merasa adanya perantara, dikhawatirkan dia disiksa dan dicabut nikmat-nikmatnya, tanpa luka dan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Posting Komentar