Allah berfirman dalam surat al-Mâidah ayat 3:
وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. (المائدة: ۳)
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”.
Secara esensial (hakiki) tawakal merupakan kondisi ruhani yang lahir dari tauhid, yang pengaruhnya terwujud dalam amal nyata. Menurut Imâm al-Ghazâlî tawakal memiliki tiga pilar: Pengenalan diri akan Allah (ma’rifat), kondisi tawakal (hâl) dan amal.
a. Pilar pertama: Ma’rifat.
Inilah dasar tawakal yakni tauhid. Orang yang bertawakal hanya berserah kepada Allah, ia tidak melihat subyek lain selain Allah. Sebenarnya hakikat tawakal hanya membutuhkan penyatuan perbuatan, tidak membutuhkan fana' dalam penyatuan Dzat. Bahkan orang yang bertawakal boleh menyaksikan fenomena ganda dan aneka sebab-akibat atau hukum kausalitas, namun dia harus tahu dan menyaksikan keterkaitan rangkaian sebab-akibat dengan sebab pertama.
Demikian pula, bila seseorang menisbatkan perbuatan manusia pada kemauan, pengetahuan dan kemampuan mereka, sebab penglihatan seseorang tidak dapat memandang pena yang menggoreskan pengetahuan dalam papan-papan kalbu. Penglihatannya tidak pula memandang pada jari-jemari yang berakhir pada hati atau kalbu manusia. Padahal pada waktu seseorang melaksanakan hal di atas, sebenarnya bukan ia yang melakukan, akan tetapi Allah-lah yang melakukan, dimana pada waktu itu ia dikuasi oleh motif-motif atau sebab-sebab yang pasti dan nyata, seakan-akan dialah yang melakukannya.
Kekuasaan itu lahir sebagai instrumen kehendak, dan pengetahuan sebagai instrumen dari penundukan dan penaklukan. Seseorang itu tahu bahwa dirinya dihadapkan pada realitas pilihan, kemudian jika ia mau, maka ia melakukannya. Seseorang itu punya kehendak jika Allah berkehendak, baik pada saat itu ia mau atau tidak.
b. Pilar kedua: Kondisi tawakal.
Maksudnya adalah menyerahkan setiap urusan kepada Allah dengan keyakinan hati dan ketentraman jiwa. Dan tidak berpaling kepada selain Allah.Dalam hal ini, seseorang itu diumpamakan dengan orang yang menyerahkan perkara kepada orang yang paling pintar dan kuat guna membongkar kebatilan, untuk dihadapkan di meja pengadilan. Dia percayakan perkara itu kepadanya karena tahu bahwa orang tersebut adalah paling mengerti tentang seluk beluk kebatilan, dan orang yang paling giat menegakkan keadilan. Karena itulah, orang yang menyerahkan perkara itu pasti hatinya tenang, tentram dan tidak ambil pusing dengan perkara di pengadilan tersebut. Ia tidak meminta bantuan kepada orang lain, karena ia tahu bahwa dia tidak akan ditentang oleh pihak lain.
Orang yang ma’rifatnya telah sempurna, akan mengetahui bahwa persoalan rizki, ajal, penciptaan dan kekuasaan itu ada di tangan Allah. Dia itu Maha Tunggal tiada berserikat, yang penuh dengan kasih sayang kepada hambanya sehingga hatinya hanya terpau kepada-Nya serta perhatiannya tidak terarah selain kepada-Nya. Itulah sebenarnya tawakal yang merupakan kondisi kalbu dalam bentuk keyakinan yang bulat kepada Sang Wakil Yang Maha Benar (Allah) dan ketidakpedulian kepada selain-Nya.
c. Pilar ketiga: Amal nyata.
Kadang-kadang orang-orang bodoh mengira bahwa persyaratan tawakal adalah menganggur, tanpa berobat, pasrah dan menyerah pada hal yang membahayakan. Ini keliru, sebab yang demikian haram dalam ajaran syariat. Agama memuji tawakal dan menganjurkannya, lalu bagaimana mungkin tawakal itu bisa digapai dengan hal yang dilarang oleh agama?
Realisasinya, bahwa usaha manusia tidak lebih dari empat segi: 1) Mengupayakan kegunaan yang belum ada, 2) Memelihara yang ada, 3) Mencegah marabahaya agar tidak terjadi dan 4) Menghilangkan marabahaya.
Yang pertama adalah mengupayakan kegunaan atau hal yang bermanfaat. Dalam hal ini ada tiga faktor: 1) Adanya kepastian, 2) Dugaan yang mendekati pasti secara lahiriah, 3) Angan-angan belaka.
Contoh dari yang sudah pasti: Tangan tidak mengambil makanan, padahal dia lapar, lalu berkata, "Ini adalah suatu usaha, sebab aku adalah orang yang berserah diri." Atau menginginkan tanaman namun tidak menanam benih. Ini semua merupakan tindakan bodoh, sebab sunnatullâh tidak berubah. Allah telah memberi tahu bahwa keterkaitan sebab-akibat ini merupakan sunnah yang tidak ada gantinya. Sebenarnya sikap tawakal dalam hal ini dilakukan dengan dua hal:
a) Hendaklah Anda tahu bahwa tangan, makanan, benih dan kemampuan untuk menggapainya merupakan kekuasaan Allah Swt.
b) Jangan bergantung pada tangan, makanan dan benih, tetapi bergantunglah kepada Sang Penciptanya.
Bagaimana bisa bergantung pada tangan, padahal ada kemungkinan terpotong ketika itu atau makanan itu sendiri menjadi basi. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari ucapan, "Lâ haul wa lâ quwwah illâ billâh (Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan Allah)." Daya adalah gerak, dan kekuatan adalah kekuasaan. Jika demikian, orang itu dikatakan bertawakal walaupun ia berusaha.
Posting Komentar