Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

1. Situasi Kultural dan Struktural pada Masa Imâm al-Ghazâlî

Setengah abad usia Imam Al-Ghazali dilalui pada abad ke-5 H. lebih kurang lima tahun beliau sempat mereguk udara abad berikutnya. Itulah masa hidup Imâm al-Ghazâlî yang dihabiskan beberapa lama di Khurasan (Iran), daerah tempat kelahiran dan pendidikannya. Di Baghdad (Irak), tempat puncak karier intelektualnya, dan di Damaskus, al-Qûds, Makkah, Madînah, dan kota-kota lain sebagai tempat persinggahannya dalam perjalanannya yang panjang untuk memenuhi tuntutan spiritualnya. Situasi kultural dan struktural di daerah-daerah tersebut pada masa itu akan diuraikan berikut ini.

Dari segi politik, di dunia Islam bagian timur, eksistensi Dinasti ‘Abbâsîyah, dengan ibu kotanya Baghdad, masih diakui. Hanya saja kekuasaan efektif berada di tangan Sultan yang membagi wilayah tersebut menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Sultan Togrel Bek (1037-1063 M), sempat berkuasa di daerah-daerah Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, al-Jazirah, Persi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih (429-522 H/1037-1127 M). kota Baghdad dikuasainya pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum Imâm al-Ghazâlî lahir. Dinasti Saljuk mengalami masa kejayaannya tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan (1063-1072) dan Sultan Mâlik Syah (1072-1092) dengan wazirnya yang terkenal Nizhâm al-Mulk (1063-1092). Sesudah Itu, Dinasti Saljuk mengalami kemunduran karena terjadi perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilakukan oleh golongan Bathînîyah. Imâm al-Ghazâlî hidup dan berprestasi pada kedua fase tersebut, baik pada masa kejayaannya maupun pada masa kemundurannya.

Cabang lain dari Dinasti Saljuk juga berkuasa di wilayah Syiria, wilayah yang direbutnya dari tangan Dinasti Fathîmîyah di Mesir. Karena letak geografisnya yang strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa. Saljuk berkuasa di daerah ini sejak tahun 468 H/1075 M waktu Imâm al-Ghazâlî datang ke daerah ini pemerintahan di pegang oleh Daqqâ’ abû ´Ashr atau Syams al-Mulk yang memerintah mulai tahun 488 H. pada pemerintahannya terjadi perang salib dan mengakibatkan timbulnya beberapa kerajaan Kristen di wilyah Syiria, seperti Kerajaan Ruha pada tahun 490 H/ 1097 M dan Kerajaan Antiochia pada tahun 492 H/ 1099 M dan pada tahun 495 H menyusul pula kota Tripoli.

Di Mesir, pada masa itu masih tetap berdiri Khilafah Fathîmîyah. wilayah kekuasaannya tidak hanya terbatas di Mesir saja, namun sampai Afrika Utara dan Syiria. Bahkan pernah sampai beberapa bulan menguasai ibu kota Baghdad, ´Abbâsîyah, yaitu menjelang munculnya Dinasti Saljuk. Dinasti Saljuk kemudian merobek-robek wilayah Kerajaan Fathîmîyah di Irak dan Syiria.

Pada tahun 472 H/ 1079 M. Dinasti Fathîmîyah sempat berusaha merebut kembali wilayah Syiria dari tangan Saljuk tetapi gagal. Mungkin karena kegagalan ini yang membuat Fathîmîyah bersikap diam tatkala Dinasti Saljuk berjuang mati-matian dalam menghadapi gelombang tentara salib yang menjadi ancaman dunia Islam pada waktu itu.

Situasi politik dan keamanan dalam negeri Dinasti Saljuk tidak stabil karena adanya gangguan dari gerakan politik bawah tanah yang berbajukan agama, yaitu gerakan Bathînîyah. Gerakan ini bermula dari pecahan sekte Syi´ah Ismâ´ilîyah yang terjadi dalam istana Dinasti Fathîmîyah di Mesir. Gerakan ini menjadi kuat dan berbahaya di bawah pimpinan Hasan al-Shabâh, yang memegang pimpinan mulai tahun 483 H/ 1090 M dengan menjadikan ´Allâmut (sebelah utara Quzwin) sebagai sentral gerakan dan kekuasaannya.

Dalam mensukseskan gerakannya, Bathînîyah tidak segan-segan mengadakan serangkaian pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap pengahalang bagi mereka. Di antara korbannya adalah Nizhâm al-Mulk, wazir Saljuk terbesar yang terbunuh pada tahun 495 H/ 1092 M dan sangat berjasa bagi karier intelektual Imâm al-Ghazâlî. Usaha Dinasti saljuk untuk menghancurkan gerakan ini dengan menggunakan serangkaian serangan ke pusat gerakan ´Allâmut selalu gagal. Malah pada tahun 490 H, Bathînîyah sudah berhasil menguasai sebelas benteng di seluruh Iran yang terbentang dari Qahistan di timur sampai Dailam di barat laut. Gerakan ini baru dapat dihancurkan oleh tentara Tartar di bawah pimpinan Hulaku pada tahun 654 H/ 1256 M, setelah 177 tahun berdiri dengan delapan orang pimpinan.

Pada masa Imâm al-Ghazâlî bukan saja terjadi disintegrasi di bidang politik umat Islam, tetapi juga di bidang sosial keagamaan. Umat Islam itu terpecah menjadi beberapa golongan madzhab fikih dan aliran kalam. Masing-masing golongan madzhab fikih mempunyai tokoh ulama yang dengan sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat. Sebenarnya gerakan serupa juga telah diperankan oleh pihak penguasa. Setiap penguasa cenderung berusaha menanamkan pengaruhnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan, seperti yang dilakukan oleh al-Kundûrî, wazir Dinasti Saljuk pertama yang beraliran Muktazilah. Madzhab dan aliran lain ditekan, seperti mazhab Syâfi´î dan aliran Asy´ârî, yang tokoh-tokohnya banyak yang menjadi korban.

Situasi ini berubah tatkala Nizhâm al-Mulk yang bermadzhab Syâfi´î dan beraliran Asy´ârî menjadi wazir pengganti al-Kundûrî. Nizhâm al-Mulk dan Imâm al-Ghazâlî sama-sama lahir di Thûs, daerah yang mayoritas penduduknya bemadzhab Syâfi´î dan beraliran Asy´ârî. Dalam usahanya mengembangkan madzhabnya dalam masyarakat, Nizhâm al-Mulk bertindak lebih etis dari pada pendahulunya, yaitu dengan mendirikan beberapa madrasah yang diberi nama madrasah Nizhâmîyah. Di madrasah ini para tokoh ulama madzhab Syâfi´î dan aliaran Asy´ârî dengan leluasa mengajarkan doktrin-doktrinnya. Untuk itu, Nizhâm al-Mulk mengeluarkan biaya sebesar 600.000 dinar emas setahunnya, jumlah yang dianggap sangat besar oleh Sultan Mâlik Syah.

Dinasti Saljuk di Syiria juga mendirikan madrasah model Nizhâmîyah di daerah mereka dengan maksud yang sama. Lebih dari sepuluh buah madrasah mereka dirikan. Tetapi, hanya tinggal satu yang sempat ditemukan Imâm al-Ghazâlî waktu dia datang ke sana. Memang sejak lama, sekolah dijadikan sarana penyebar faham pihak-pihak penguasa yang membinanya. Misalnya, Jâmi’ al-Azhâr di Kairo yang didirikan oleh Dinasti Fathîmîyah pada tahun 972 M dengan tujuan untuk menyebarkan faham sekte Syî´ah Ismâ´ilîyah yang dianut penguasa.

Fanatisme yang berlebihan pada masa itu, sering menimbulkan konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antar madzhab dan aliran. Masing-masing madzhab mempunyai wilayah penganutnya. Di Khurasan, mayoritas penduduknya bermadzhab Syâfi´î, di Isfahan madzhab Syâfi´î bertemu dengan madzhab Hambalî dan di Balkh bertemu dengan Hanafî. Sementara di Baghdad Syâfi´î lebih dominan. Konflik sering terjadi karena pengikut madzhab yang satu mengkafirkan madzhab yang lain, seperti antara madzhab Syâfi´î dengan Hambalî.

Ibn al-Jauzî (597 H) mengemukakan bahwa ada beberapa peristiwa konflik yang terjadi di Baghdad tahun 469 H. Di Baghdad terjadi peristiwa Qusyairî yaitu timbulnya konflik fisik antara pengikut Asy’arisme dan Hanabilah. Konflik itu terjadi karena pihak pertama menuduh pihak kedua berfaham “tajsîm” yang mengakibatkan korban jiwa seorang laki-laki. Pada tahun 256 H golongan Hanabilah, pengikut ´Abd al-Shamad, mendemostrasikan Abû ´Ali ibn al-Wâhid, seorang tokoh Muktazilah yang mengajarkan falsafah dan kalam versi Muktazilah di masjid al-Manshûr. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan Hanabilah dengan Syî´ah, dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara Hanabilah dan Asy’arisme

Fenomena fanatisme madzhab dan aliran dalam masyarakat yang diperankan para ulama, erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata di bawah penguasa dalam stratifikasi sosial waktu itu. Hal ini terjadi karena adanya interdepensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para ulama bisa memperoleh semacam legitimasi kekuasaan di mata umat. Sebaliknya dengan peran penguasa para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemewahan hidup. Oleh karena itu, para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa dan begitu pula sebaliknya dengan cara masing-masing.

Di samping itu, ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di khankah-khankah (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di daerah Syiria, Saljuk mendirikan dua buah khankah yang megah, yaitu al-Qashr dan al-Tawamis, sebagai tambahan terhadap khankah yang sudah ada, yaitu al-Samisatîyah, yang dibangun oleh penguasa sebelumnya.

Di Damaskus, pada masa itu, golongan sufi hidup di khankah-khankah yang megah seperti mahligai dengan taman firdausnya, dianggap kelompok istimewa. Kebutuhan hidup mereka dicukupi oleh masyarakat dan penguasa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak menghiraukan kehidupan dunia yang penuh dengan noda. Mereka adalah orang-orang suci yang mampu mendoakan kepada Tuhan apa yang diharapkan masyarakat cepat terkabul. Dengan status ini beberapa sufi menggunakannya untuk mendapatkan kemudahan hidup dan kemuliaan dengan sarana kehidupan sufi yang ditonjolkan mereka.

Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Imâm al-Ghazâlî yang didasarkan atas perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari pengaruh kultural terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya dan akhirnya membuat pemikiran umat mengkristal dalam berbagai faham keagamaan yang dalam aspek-aspek tertentu saling bertentangan.

Di antara unsur-unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa Imâm al-Ghazâlî adalah filsafat Yunani, India, dan Persia. Filsafat Yunani banyak diserap para teolog, filsafat India diadaptasi kaum sufi, dan doktrin Syi’ah dalam konsep Imamah banyak dipengaruhi oleh filsafat Persia. Yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan fahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya. Untuk itu, semua intelektual baik yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama harus mempelajari filsafat terlebih dahulu.

Interdepensi antara penguasa dan ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selain saling berkompetisi dalam pelbagai studi ilmu, para ulama juga mencari kesempatan mendapatkan simpati dari penguasa. Penguasa selalu memantau kemajuan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan intelektual yang menggiurkan. Dalam hal ini peran wazir Nizam al-Mulk besar sekali sehingga dia berani mengeluarkan 600.000 dinar emas dari perbendaharaan Negara selama setahun guna kepentingan pengembangan ilmu yang berpusat di madrasah-madrasah yang didirikannya. Anggaran sebesar itu dipergunakan untuk memberi beasiswa kepada para pelajar dan gaji dalam jumlah besar kepada guru-guru. Di samping itu, Nizam al-Mulk juga mendirikan lembaga-lembaga seminar tempat para intelektual bertukar pikiran. Akan tetapi, usaha pengembangan ilmu ini diarahkan oleh pihak penguasa kepada suatu misi bersama, yaitu untuk mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Muktazilah. Filsafat waktu itu tidak hanya menjadi komsumsi umum, bahkan bagi sementara orang kebenaran pemikiran filsafat diterima scara mutlak dan cenderung meremehkan doktrin agama serta pengamalannya. Filsafat juga diserap oleh para pemikir Ikhwân al-Shafâ, yang pemikiran mereka banyak pula diserang oleh sekte Ismâ´ilîyah. Bahkan, gerakan Bathînîyah menjadikannya sebagai alat propaganda untuk merusak akidah umat dan mengancam stabilitas politik. Aliran Muktazilah selain banyak menyerap filsafat Yunani, juga secara historis banyak menyengsarakan golongan Ahl al-Sunnah. Hal itu terjadi pada masa Dinasti Buwayh maupun pada masa pemerintahan al-Kundûrî, wazir Saljuk yang pertama, yang digantikan oleh Nizhâm al-Mulk. Oleh karena itu, menurut pihak penguasa dan para ulama yang sama-sama menganut Ahl al-Sunnah, aliran filsafat, dan Muktazilah adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Di tengah situasi seperti itu, Imâm al-Ghazâlî dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc

Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!