Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

“Tidaklah beiman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” ~ Rasulullah saww, Hadits Riwayat al-Tirmidzi

ADA keyakinan luas bahwa mencintai orang lain adalah baik, sementara mencintai diri sendiri adalah buruk. [1]

Juga ada anggapan bahwa cinta pada diri sendiri sama dengan mementingkan diri sendiri. [2]

Tentu saja pandangan seperti ini bertolak belakang dengan hadits tersebut di atas. Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini bisa dipahami?

DUA JENIS CINTA DIRI

Sebenarnya tidak ada pertentangan sama sekali antara pandangan yang pertama dengan pandangan yang kedua. Karena sesungguhnya ada dua jenis Cinta Diri. Yang Pertama, adalah Cinta Diri Positif sedangkan Yang Kedua Cinta Diri Negatif.

Pada teks hadits di atas cinta kepada diri seperti itu merupakan cinta diri yang positif, bahkan bersifat fithrah, tetapi pada jenis yang kedua, cinta diri sudah mengarah kepada bentuk mementingkan diri sendiri.

CINTA DIRI POSITIF

Seorang laki-laki menulis surat kepada Abu Dzarr al-Ghifari ra. Di dalam suratnya, ia meminta nasihat kepada Abu Dzarr. Di antara nasihat Abu Dzarr tersebut ditulis, beliau menasihati dengan nasihat yang sangat sederhana tetapi mengandung makna yang dalam, “….Janganlah engkau berbuat jahat terhadap orang yang engkau cintai!”.

Begitu si lelaki membaca surat dari Abu Dzarr tersebut ia pun menjadi bingung, karena tidak memahami makna dari nasihat Abu Dzarr, sehingga ia pun kembali bertanya di dalam surat keduanya, “Apakah Anda pernah melihat seseorang yang berbuat jahat terhadap orang yang dicintainya?”

Abu Dzarr pun menjawab dalam suratnya, “Kecintaanmu kepada dirimu sendiri jelas melebihi kecintaanmu kepada orang lain. Namun demikian jika engkau tidak mentaati Allah, engkau pasti akan disiksa, dan ini berarti engkau telah berbuat jahat terhadap dirimu sendiri”. [3]

Suatu kesalahan logis apabila dikatakan bahwa cinta pada orang lain dan cinta pada diri sendiri tidak dapat saling berdampingan. Jika mencintai sesama manusia merupakan suatu kebajikan, maka mencintai diri sendiri pun tentu merupakan kebajikan, karena sebagaimana orang lain, kita sendiri pun adalah manusia. Tidak ada konsep tentang manusia di mana kita tidak termasuk di dalamnya. [4]

Sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saww bersabda, “Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri” [5] menunjukkan bahwa penghormatan atas integritas dan keunikan diri serta cinta dan pengertian terhadap diri sendiri tidak dapat dipisahkan dari penghormatan dan cinta terhadap manusia lainnya. Cinta pada diri sendiri memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan cinta pada semua makhluk lainnya.

Kita juga diperintahkan Allah SwT untuk menyayangi diri kita beserta keluarga kita dengan menjaga dan memeliharanya dari kecelakaan dan bencana terperosok ke dalam siksa api neraka, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu!” (QS al-Tahrim [66] ayat 6)

Tentu saja pola cinta diri seperti ini bukan saja positif dan dibenarkan, bahkan diperintahkan oleh Tuhan.

Ini berarti cinta diri dan cinta kepada orang lain bukan merupakan alternatif.

Sebaliknya, senantiasa harus akan ada sikap cinta terhadap diri sendiri pada orang-orang yang mampu mencintai orang lain. Pada prinsipnya, cinta tidak akan terbagi sejauh hubungan antara obyek dan diri sendiri diperhatikan.

Pergumulan dengan cinta diri adalah pergumulan dengan keterbatasan diri. Diri ini harus dimekarkan, atau dengan kata lain kepribadian diri kita mesti direntangkan hingga mampu menggapai seluruh manusia bila bukan seluruh alam ciptaan. [6]

Pada hakikatnya, semua maujud yang ada di alam ini termasuk diri kita sendiri merupakan pengejewantahan (manifestasi) dari al-Haqq, sehingga cinta kita kepada diri kita, manusia lainnya, makhluk-makhluk lainnya dan alam semesta, sejatinya merupakan cinta kita kepada al-Haqq, Allah Rabb al-‘Alamin.

CINTA DIRI NEGATIF

Sebaliknya, seseorang yang mencintai dirinya sendiri, bahkan kepada orang lain sekali pun, tetapi menganggap bahwa dirinya, atau orang lain tidak memiliki keterhubungan dengan al-Haqq, adalah tidak saja merupakan bentuk cinta diri negatif, bahkan pola pemikiran seperti ini merupakan jenis syirik yang teramat besar atau pandangan dualisme yang dapat menimbulkan sekian banyak dilema-dilema di dalam realitas kehidupan manusia.

Bentuk cinta diri seperti inilah yang dikatakan sebagai mementingkan diri sendiri. Cinta seperti ini bukanlah cinta yang sesungguhnya, karena cinta yang sejati melepaskan manusia dari egoisme.

KISAH SIRRI AL SAQATHI

Konon Sirri al-Saqathi, salah seorang ‘urafa, pernah berkata, “Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku”

Tentu saja orang orang menjadi bingung dan bertanya kepadanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Saqathi berkata, “Saat itu memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal toko saya berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana apakah tokoku juga terbakar atau tidak? Seseorang memberitahu kepadaku, “Api tidak sampai menjalar ketokomu” Aku pun mengucapkan, “Alhamdulillah!” Setelah itu terpikir olehku, “Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini?

Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko lainnya terbakar. Ucapan alhamdulilah berarti bahwa engkau bersyuku api tidak membakar tokomu. Jadi engkau rela toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar!

Aku berkata pada diriku lagi, “Tidak adakah barang sedikit rasa sedih atas musibah yang menimpa kaum muslimin di hatimu, wahai Sirri?” (Di sini ia mensinyalir hadits Nabi, “Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin)”). Sudah tiga puluh tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu. [7]

Kisah tentang Sirri al-Saqathi ini merupakan contoh bentuk cinta diri negatif yang bisa dikatakan sebagai sifat mementingkan diri sendiri. Cinta diri seperti ini menutup pintu bagi segala bentuk perhatian yang sungguh-sungguh pada orang lain.

Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima. Dunia luar hanya dipandang dari segi apa yang dapat dia peroleh.

Dia tidak berminat untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan tidak menghargai kodrat serta integritas mereka. Orang macam ini tidak bisa melihat apa-apa selain dirinya sendiri. Dia menilai setiap orang atau lainnya hanya semata dari sisi manfaat buat dirinya. Pada dasarnya orang macam ini tidak punya kemampuan untuk mencintai.

Cinta diri dalam bentuk ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya maujud. Cinta semacam ini sesungguhnya hanyalah suatu bentuk kegandrungan seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu cinta diri seperti ini harus disingkirkan.

Sebaliknya cinta diri yang merupakan fitrah yang ada diri manusia seperti keinginan untuk memuliakan diri, mensucikan diri dan hal-hal semacam itu tentu saja tidak boleh diabaikan atau pun dibuang. Perbaikan dan penyempurnaan diri (nafs) manusia justru merupakan kemestian dan keharusan bagi manusia untuk mewujudkannya. [8]

Cinta sejati justru meruntuhkan kendala defensif dan menggantikannya dengan cinta kepada selain diri sendiri. Sebelum manusia mampu keluar dari dirinya sendiri, ia adalah lemah, kikir, kaku, tamak, anti manusia, pemberang, serakah dan sombong.

Jiwanya tidak memancarkan kecemerlangan, tidak bersemangat atau bergairah, selalu dingin dan terpencil. Namun begitu ia keluar dari ‘diri’ dan meruntuhkan kendala-kendala defensif ini, sifat dan tabiat-tabiat buruk yang ada dalam ‘diri’ itu pun runtuh! [9]

Orang yang mementingkan diri sendiri tidak terlalu banyak mencintai dirinya sendiri, justru dia sangat kurang mencintai dirinya-bahkan sesungguhnya ia membenci dirinya.

Kurangnya kesukaan dan perhatiaan terhadap dirinya yang merupakan ungkapan dari kurangnya produktifitas menyebabkan orang tersebut diluputi rasa hampa dan derita kegagalan. Karena itulah ia menjadi tidak bahagia dan selalu diliputi rasa takut. [10]

Orang yang mementingkan diri sendiri itu narsistis, mereka mengalihkan cintanya untuk orang lain kepada dirinya sendiri. Memang benar bahwa orang-orang yang mementingkan diri sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mencintai orang lain, tetapi lebih dari itu, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mencintai dirinya sendiri.

Orang yang mencintai keluarganya tetapi sama sekali tidak berperasaan terhadap orang lain adalah pertanda dari ketidak mampuan untuk mencintai.

Begitu juga kecintaan kepada suku atau bangsa (chauvanisme) berlebihan yang menciptakan ego kesukuan atau kebangsaan.

Sifat psikis batin ini terlihat ketika seseorang melindungi dan membela keluarganya serta orang-orang yang memiliki pertalian atau hubungan tertentu dengannya, baik itu keyakinan agama, ideologi, tanah atau tempat tinggal, padahal orang yang dibela melakukan kesalahan. [11]

Tingkat kecintaan yang berlebihan (‘ashabiyyah) seperti ini dapat mengakibatkan tercerabutnya iman dari dalam hatinya.

Rasulullah saww bersabda, “Siapa yang melakukan ‘ashabiyyah dan siapa yang karena kepentingannya, seseorang melakukan ‘ashabiyyah, maka terlepaslah ikatan iman dari lehernya” [12]

CINTA DIRI YANG PALING BERBAHAYA

Pada kondisi kejiwaan tertentu cinta diri, bahkan menurut Imam Khomeini qs, merupakan akar seluruh dosa. [13]

Cinta diri seperti ini dapat dikatakan sebagai egoisme. Pada tahap kejiwaan seperti ini seseorang merasa dirinya telah mencapai suatu tahap kesempurnaan.

Kita menganggap diri kita telah sedemikian sempurna sementara di mata kita orang lain penuh cacat dan cela. Kita sibuk melihat cela dan aib-aib orang lain tetapi lalai menengok dan bercermin melihat keburukkan yang kita miliki.

Oleh karena itulah cinta diri seperti ini merupakan bentuk kelalaian. Karena jika kita secara jujur melihat kejelekkan kita sendiri niscaya kita akan bersegera memperbaiki kerusakkan jiwa dan diri kita sendiri. Jika kita menyadari hal ini dan bersegera membenahi jiwa dan diri kita sejak dini, maka hal itu merupakan bentuk cinta diri tetapi tentunya dalam bentuk yang positif.

BERHALA TERBESAR DARI SEGALA BERHALA

Sebaliknya, jika perhatian kita kurang terhadap usaha-usaha untuk memperbaiki diri kita sendiri maka bentuk cinta diri seperti ini adalah bentuk yang negatif, yang pada kondisi tertentu bisa menjadi berhala (idol) terbesar dan lebih buruk dari semua berhala.

Cinta diri seperti ini adalah raja dari segala berhala yang akan memaksa kita untuk menyembahnya dengan kekuatan yang lebih besar daripada berhala-berhala yag lain. Sebelum seseorang mampu menghancurkan berhala ini, niscaya ia tidak akan berpaling kepada Allah. Allah dan berhala, egoisme dan keilahian tidak dapat berada dalam hati kita secara bersamaan. [14]

Imam Khomeini qs mengatakan, “Waspadalah bila (semoga Tuhan melindungi kita) cinta dunia dan cinta diri mulai meningkat dalam dirimu sampai ke suatu titik di mana Iblis mampu mengambil keimananmu. Dikatakan bahwa seluruh usaha Iblis ditujukan kepada hal ini, seluruh tipu dayanya, di malam dan siang hari, bertujuan untuk mencabut keimanan manusia. Tak seorang pun dapat menjamin bahwa kalian akan tetap mempertahankan iman kalian selamanya. Keimanan kalian mungkin diberikan hanya sebagai pinjaman, sehingga pada akhirnya Iblis akan berhasil mengambilnya kembali dari kalian dan kalian akan meninggalkan dunia ini dengan penuh rasa benci pada Tuhan dan para awliya-Nya. [15].

Jadi pergumulan dengan diri adalah pergumulan dengan keterbatasan diri, karena itu cinta diri (negatif) tidak lain daripada keterbatasan atas proses konsepsi dan motivasi. Cinta sejati mengarahkan kasih sayang dan naluri manusia ke luar dirinya.

Cinta sejati meluaskan eksistensinya dan mengubah titik fokus dalam wujud manusia. Dengan alasan yang sama, cinta sejati adalah faktor moral agung dan mendidik, dengan syarat bahwa ia mesti memperoleh tuntunan yang baik dan digunakan dengan tepat. [16]

DIALOG AL HALLAJ DENGAN IBLIS

Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati, ia diseret ketiang gantungan. Beliau disiksa dan dihinakan oleh pemerintah pada masa itu. Ketika al-Hallaj meringkuk lemah di tiang kematiannya, Iblis datang dan bertanya kepadanya, “Kamu telah mengatakan ‘Aku’ dan aku pun telah mengatakan ‘Aku’. Tetapi mengapa kamu mendapatkan ampunan Tuhan yang abadi sedangkan aku mendapatkan kutukan abadi?”

“Engkau mengatakan ‘Aku’ seraya memandang besar pada dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diriku sendiri dari diri (ego). Oleh karena itu, aku memperoleh ampunan dari Tuhan sedangkan engkau mendapatkan kutukan. Memandang besar diri adalah hal yang tidak layak, sedangkan melepaskan diri (ego) adalah perbuatan baik di atas semua kebaikan!” [17]

Selama egomu menyertaimu,

Engkau takkan pernah tahu apa-apa tentang Tuhan,

Karena ego itu tidak menyukai al-Insan al-Kamil

~ Abu Sa’id Abi al-Khayr

Baju siapa pun yang lumat oleh cinta,

Tercuci bersih dari tamak dan noda!

~ Rumi, Matsnawi I

Catatan Kaki

1. Erich Fromm, The Art of Love, hal. 97.

2. Ibid.

3. Khalil al-Musawi, Bagaimana Menyukseskan Pergaulan Anda, hal. 21.

4. Erich Fromm, The Art of Loving, hal. 99-100

5. Hadits Riwayat Ibn Majah.

6. Murtadha Muthahhari, Ali bin Abi Thalib di hadapan kawan dan lawan, hal. 50.

7. Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlaq, hal 16-17.

8. Murtadha Muthahhari, Ali bin Abi Thalib di hadapan kawan dan lawan, hal. 50.

9. Ibid. hal. 49.

10. Erich Fromm, The Art of Loving, hal. 103

11. Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits I, hal. 141.

12. Al-Kulayni, Ushul Kafi, hal 419.

13. Imam Khomeini, Mata Air Kecemerlangan, hal. 90.

14. Imam Khomeini, Rahasia Basmalah dan Hamdalah, hal. 66.

15. Imam Khomeini, Mata Air Kecemerlangan, hal. 92.

16. Murtadha Muthahhari, Ali bin Abi Thalib di hadapan kawan dan lawan, hal. 50.

17. Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia, Para Sufi Agung, hal. 34-35.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc

Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!