Ada banyak faktor yang menyebabkan manusia terhalang dari kebenaran. Umumnya, faktor internal-lah yang lebih dominan mempengaruhi manusia ketimbang faktor eksternal. Semua faktor-faktor penghalang itu saya ringkas menjadi 10.
1. MENGANDALKAN PERSANGKAAN DARIPADA PENGETAHUAN DAN KEPASTIAN
Sebagian besar manusia di dunia ini menganut ajaran agamanya berdasarkan perolehan dari orangtuanya, lingkungannya dan guru-guru di sekolahnya. Mereka menerima agama yang mereka anut seperti sebuah warisan turun menurun, dari ayahnya, dari kakeknya dan seterusnya. Warisan keagamaan ini pun diperkuat dengan lingkungan yang homogen, seperti kita yang tinggal di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentulah memiliki lingkungan yang lebih banyak menganut agama Islam ketimbang agama yang lain. Atau di Amerika Serikat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen tentulah memiliki lingkungan yang lebih banyak beragama Kristen ketimbang yang lain. Sehingga ajaran-ajaran yang disampaikan oleh guru-guru mereka di sekolah pun jelas-jelas semakin memperkuat kepercayaan yang sudah ada itu. Namun begitu tidak sedikit orang yang mempertanyakan kebenaran agama atau keyakinan yang selama ini mereka anut. Cukup banyak warga AS yang beralih menganut agama Islam setelah merasa tidak puas dengan agama yang mereka anut. Mereka menemukan banyak kejanggalan dan hal-hal yang bertentangan dengan nalar dan rasio mereka di dalam agama yang mereka anut selama ini sehingga mereka mencoba menyelidiki agama-agama lainnya sebagai agama alternatif yang ingin mereka jadikan sebagai keyakinan dan jalan hidup mereka.
Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah orang-orang seperti ini jauh lebih sedikit ketimbang orang-orang yang hanya pasrah (taqlid buta) menerima keyakinan yang telah diperolehnya dari orangtua dan nenek moyang mereka.
“Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Quran Surah Al-Maidah [5] ayat 104)
Kebanyakan manusia lebih mengandalkan persangkaan ketimbang pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan. Tidak sedikit orang yang enggan menerima hujjah atau argumen yang secara umum sebenarnya sudah disepakati bersama. Namun dengan cara yang aneh dan ganjil orang-orang tersebut tidak menerima argumen yang diajukan dan tetap bertahan pada persangkaan dan asumsinya semula, sehingga orang-orang seperti ini terjauhkan dari kebenaran.
“Dan kebanyakan mereka (aktsarahum) tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus [10] ayat 36)
2. MENGIKUTI HASRAT HAWA NAFSU DAN BIAS PRIBADI
Kebanyakan manusia juga cenderung bersikukuh dengan pendapat dan keyakinannya hanya lantaran mengikuti hawa nafsu dan bias pribadi saja. Misalnya, jika disodorkan sebuah argumen atau dalil yang jelas dan kuat, maka secara spontan dia langsung menolaknya tanpa mau menyimak apalagi meneliti dalil tersebut karena rasa gengsi atau adanya prasangka buruk terhadap bentuk keyakinan yang disodorkan kepadanya. Padahal, seharusnya ia terus menerus memelihara sikap tidak memihak ketika memikirkan sesuatu, yakni mesti mencoba secara sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran semata-mata dan mengakui bukti-bukti yang otentik. Hal ini juga bisa dicomtohkan dengan seorang hakim ketika ia menyelidiki suatu kasus; ia tidak boleh memihak kepada pihak mana pun yang terlibat dalam perselisihan. Jika sedikit saja hakim memiliki bias dan kecondongan pribadi kepada salah satu pihak maka secara tidak sadar mau pun sadar, ia akan tertarik kepada bukti-bukti yang menguatkan pihak yang ia bias kepadanya dan ia menjadi tidak lagi mampu melihat bukti-bukti pihak yang lainnya, dan hal inilah yang membuat keputusan hakim menjadi keliru dan tidak adil. Hawa nafsu telah mempengaruhi pikirannya sehingga ketika ia mengambil keputusan pun pastilah didasarkan oleh selera bukan lagi dengan logika yang jernih. Hawa nafsu yang telah menguasai hati lambat-laun membuat hati menjadi terbutakan. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar, yang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi baik.
“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 135)
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.” (QS Al-Najm [53]:23)
3. MENGIKUTI KEBANYAKAN MANUSIA.
Masih banyak sekali orang yang menjadikan jumlah atau kuantitas sebagai tolok ukur kebenaran. Pada masa sekarang ini pemikiran demokrasi yang berdasarkan perhitungan mayoritas telah menjadi anutan masyarakat manusia termasuk Indonesia. Bagaimana pun demokrasi yang tidak dipimpin oleh kepemimpinan yang bersih dan penuh ketaqwaan hanya akan menghasilkan penyimpangan demi penyimpangan. Inilah yang terjadi di negeri kita. Coba siapa yang bisa menegur anggota DPR atau MPR jika mereka melakukan kesalahan? Lembaga ini sudah menjadi lembaga tertinggi di Indonesia, jadi tidak seorang pun yang bisa menegur mereka. Hal seperti ini pula yang menjadi batu sandungan manusia untuk mencapai kebenaran. Karena jika kita mengambil suara terbanyak dari sekelompok masyarakat, maka suara yang terbanyak dari mereka adalah suara orang-orang yang bodoh ketimbang orang-orang yang pandai. Kita semua tahu bahwa orang yang pandai jauh lebih sedikit ketimbang orang yang bodoh. Akibatnya suara orang-orang yang bodohlah yang menjadi ukuran kebenaran. Inilah demokrasi Barat yang sedang diterapkan pada bangsa kita! Contoh lainnya adalah jika kita menghitung jumlah penganut agama terbanyak di dunia ini pastilah agama Kristen; lalu apakah kita bisa menyimpulkan bahwa agama inilah yang merupakan agama yang benar, karena penganutnya merupakan mayoritas penduduk dunia? Naif sekali bukan? “Dan jika kamu menuruti kebanyakan (aktsar) orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah”
(Al-Quran Surah al_An’am [6] ayat 116)
4. PEMUJAAN TERHADAP HERO ATAU IDOLA
Betapa banyak orang yang terbutakan dari kebenaran dikarenakan pemujaan mereka terhadap idola atau pahlawannya. Di dalam catatan sejarah Islam misalnya, ketika Imam Ali as dan pengikutnya berhadapan untuk bertempur melawan Thalhah, Zubair dan Ummul Mukminin Aisyah, beberapa pengikut Imam Ali as terlihat gelisah, sehingga salah seorang di antara mereka bertanya kepada Imam Ali as, “Wahai Amirul Mu’minin, mungkinkah Thalhah, Zubair, serta Aisyah bergabung dalam kesesatan? Bagaimana mungkin pribadi-pribadi besar ini, yang merupakan para sahabat Nabi dan isteri Nabi dapat bergabung (bersepakat) dalam kesesatan?”
Dengan lugas dan mantap Imam Ali as berkata kepada sahabatnya yang berada dalam keraguan itu, “Engkau telah tertipu! Kebenaran telah menjadi kekeliruan bagimu. Ketahuilah, kebenaran dan kebatilan tidak bisa diketahui dengan menjadikan kekuatan dan pribadi-pribadi individu sebagai tolok ukurnya. Tidak benar apabila mula-mula engkau menakar pribadi-pribadi lalu kemudian menimbang kebenaran dan kebatilan menurut ukuran ini. Tidak! Individu atau pribadi-pribadi tidak boleh dijadikan tolok ukur kebenaran dan kepalsuan. Kebenaran dan kebatilanlah yang menjadi tolok ukur bagi para individu dan pribadi-ribadi!” (Murtadha Muthahhari, Ali Bin Abi Thalib Di hadapan Kawan Dan Lawan, hal. 70-71)
Seseorang yang sedemikian memuja-muja seorang tokoh kemerdekaan misalnya, tidak rela jika tokohnya tersebut dikritik, padahal sang tokoh bukanlah seseorang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Sampai-sampai ada yang sedemikian fanatik terhadap tokoh tersebut menjadikan seluruh kata-kata dan tindakan sang tokoh sebagai tolok-ukur kebenaran.
Pertama-tama kenalilah kebenaran terlebih dahulu, baru setelah itu Anda bisa menilai si A atau si B melakukan tindakan yang benar atau salah berdasarkan tolok-ukur kebenaran yang telah Anda pahami sebelumnya.
“Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)” (Al-Quran Surah Al-Ahzab [33] ayat 67)
5. PENGETAHUAN ATAU INFORMASI YANG TIDAK LENGKAP
Pengetahuan atau data informasi yang tidak lengkap mengakibatkan kebenaran menjadi tidak lagi utuh. Saya akan memberikan sebuah contoh yang cukup relevan. Sudah banyak orang yang mengetahui hadits yang redaksinya : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Hadits Riwayat Hakim dan Malik di dalam al-Muwatha-nya)
Saya tidak mengabaikan hadits di atas ini namun mengapa banyak ulama yang entah sengaja atau tidak sengaja tidak menyampaikan hadits lainnya yang hampir serupa, padahal hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, perawi yang sangat populer di kalangan Ahlus Sunnah seperti di Indonesia, yang hadis ini diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, katanya : “Rasulullah Saw berdiri dan berkhutbah di hadapan kami dekat suatu sumur air yang dinamakan Khum, antara Makkah dan Madinah. Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah, memberikan pelajaran dan peringatan. Kemudian beliau mengucapkan : “Adapun kemudian dari itu ketahuilah, hai orang banyak, sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang sudah dekat datang Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) dan nanti akan kuperkenankan. Aku meninggalkan untuk kamu dua yang berharga (Al-Tsaqalayn) yang pertama : Kitab Allah yang di dalamnya bimbingan dan cahaya terang. Sebab itu ambillah Kitab Allah dan berpegang teguhlah kepadanya! Beliau menganjurkan agar berpegang teguh dengan Kitab Allah dan menumbuhkan keinginan (untuk mengamalkannya). Kemudian beliau bersabda : “(Dan yang kedua) Ahlul Bait-ku, aku ingatkan kalian tentang Ahlul Bait-ku ini, aku ingatkan kalian tentang Ahlul Bait-ku ini!” (Shahih Muslim, Kitab Fadhail al-Shahabah, hadits no. 5920). 1] Aneh bukan? Hadits ini jarang dikumandangkan di dalam dakwah-dakwah mereka. Padahal jika kita lihat kebiasaan kaum Muslim pada umumnya, mereka lebih mengutamakan hadits Bukhari dan Muslim, ketimbang hadits lainnya, tapi di dalam hal ini mengapa mereka mengabaikannya?
Itulah sebabnya perlu penelitian dan kelengkapan informasi agar kebenaran dapat kita terima seutuhnya, tidak sepenggal-sepenggal.
“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna (lengkap) padahal belum datang kepada mereka penjelasannya” (QS Yunus [10] ayat 39)
6. MENGIKUTI TRADISI DAN TEROBSESI MASA LAMPAU
Tradisi cenderung dijadikan sebuah petunjuk yang memandu alam bawah sadar kebanyakan manusia. Hal ini karena sebuah tradisi ditanamkan secara sistematis dan terus-menerus ke dalam pikiran kita. Pada masa Bani Umayyah, sebuah dogma sesat telah ditanamkan Mu’awiyyah kepada umat Islam. Setiap khutbah Jumat, para khatib Jum’at diwajibkan untuk MENGUTUK SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB. Siapa pun yang menolak perintah ini ia akan dihukum mati. Dan sahabat Nabi, Hujur bin ‘Adi, menjadi martir pertama karena menolak dan menentang perintah pengutukan itu. Dan banyak lagi sahabat setia Imam Ali as yang dihukum mati karena menolak mengutuk kekasih Nabi, Ali bin Abi Thalib. Kebencian yang ditanamkan terhadap pribadi mulia ini sedemikian sistematis sehingga tak seorang pun berani menamakan anak mereka dengan nama-nama Ahlul Bait seperti: Ali, Hasan, atau pun Husayn. Tradisi ini terus berlanjut sampai-sampai tak seorang pun di Siria (Damaskus) yang mengenal siapa itu Ahlul Bait Nabi. Setelah masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, tradisi pengutukan ini dihentikan. Dengan kebijakan dan keberaniannya, Umar bin Abdul Azis menghapus tradisi pengutukan ini. Namun karena itu pula Umar bin Abdul Azis dibunuh oleh keluarga terdekatnya sendiri. Dia hanya berkuasa tidak sampai 2 tahun. (Baca : KH. Firdaus AN, Umar bin Abdul Azis)
Kebanyakan manusia menerima suatu keyakinan dari generasi ke generasi tanpa mempertimbangkannya dengan akal sehat dan pemikiran yang kritis. Mereka cenderung menerima keyakinan tersebut tanpa mau menyelidiki kebenaran doktrin atau ajaran yang mereka terima secara turun temurun ini. Kepercayaan-kepercayaan dan gagasan dari para leluhur dan orang tua mereka terima tanpa pertimbangan akal dan pikiran yang sehat.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan, atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS 23 :68)
7. KETERGESA-GESAAN
Membuat penilaian dan komentar membutuhkan sejumlah bukti. Namun pada saat terdesak ataupun terjepit padahal bukti belum lagi mencukupi, sebagian besar manusia sering mengambil keputusan secara tergesa-gesa yang mengakibatkan timbulnya kesalahan fatal. Bagaimana pun ketergesa-gesaan adalah salah satu penyebab timbulnya ketidak cermatan dan ketidak telitian.
“Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat. Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.” (QS 37 : 69-70)
8. KEBENCIAN ATAUPUN KECINTAAN YANG BERLEBIHAN ATAU FANATIK BUTA
Kebencian maupun kecintaan yang berlebihan dapat mengakibatkan
Rasulullah saw bersabda, “Cintamu kepada sesuatu membutakan dan menulikanmu.” (Bihar al-Anwar 77: 164)
Kecintaan atau pun kebencian yang tak berdasar dapat membutakan mata hati kita. Perasaan cinta atau benci yang tidak diimbangi dengan pemikiran yang rasional dapat menimbulkan apa yang disebut fanatik buta!
Di dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij termasuk orang-orang seperti ini. Jika Anda yang hanya melihat simbol-simbol seperti: tanda hitam di kening, atau wajah yang terlihat sayu karena banyak shalat malam dan puasa di siang hari, misalnya, Anda pasti akan terkecoh dan kagum terhadap tampilan luar kaum Khawarij. Walaupun secara ritual mereka adalah orang-orang yang tampak shalih, tetapi pola berpikir mereka tidaklah sesuai dengan ajara-ajaran Nabi Saw. Mereka bahkan secara terang-terangan mengkafirkan Imam Ali as dan dengan sadar melakukan pembunuhan terhadap beliau. Cara berpikir mereka sangatlah dangkal, cenderung mengkafirkan semua orang, membunuh dan menteror banyak kaum Muslim pada masa kekhalifahan Imam Ali. Mereka menganggap hanya pemahaman mereka sajalah yang benar. Seorang Imam Ali as tidak sedikit pun tertipu dan terkecoh dengan tampilan luar mereka yang seolah shalih. Ucapan-ucapan mereka bisa membuktikan bahwa mereka hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti sedikit pun, bahkan sesungguhnya fanatisme buta mereka justru menunjukkan keraguan mereka belaka. Imam Ali as menyindir kaum Khawarij yang sedemikian rajin shalat malam saat itu dengan mengatakan, ”Tidur dengan keyakinan itu lebih baik daripada shalat dengan keraguan” (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abil Hadid 18 : 253)
Robertson Davies mengatakan, “Fanaticism is overcompensation for doubt.” – Fanatisme merupakan kompensasi berlebihan karena keraguan.
Sejarah telah mencatat kerusakkan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang fanatik. Lihatlah apa yang terjadi di Irak. Kebodohan dan kebencian Al-Qaeda terhadap kaum Muslim Syi’ah membuat mereka rela melakukan BOM BUNUH DIRI sambil membantai ribuan kaum Muslim yang tak berdosa. Sejumlah aliran dana yang sangat besar telah disalurkan kepada kelompok bodoh dan gila ini demi menjaga keutuhan beberapa Imperium di Timur Tengah.
Louis Kronenberger juga mengatakan, “In the history of mankind, fanaticism has caused more harm than vice” – Di dalam sejarah manusia, fanatisme lebih mengakibatkan kerusakan (penganiayaan) ketimbang (sekadar) keburukan.” Ketika orang-orang Zionis Israel membantai ribuan kaum Muslim di Palestina, kelompok dungu, Al-Qaeda ini pun dengan senang hati melakukan hal yang sama terhadap kaum Muslim di Irak. Apa yang membedakan mereka berdua? Tidak ada! Mereka sama saja, mereka berdua adalah anak-anak Setan Besar Amerika Serikat.
9. KESOMBONGAN, MERASA SUDAH CUKUP SEMPURNA DAN KETIDAKJUJURAN TERHADAP DIRI SENDIRI
Kesombongan dan kebenaran bak minyak dan air, keduanya takkan pernah dapat bersatu selamanya. Orang-orang yang sombong takkan pernah dapat melihat kebenaran walau pun bukti-bukti dan argumen yang dipaparkan sudah tak dapat dipungkiri lagi. Bahkan jika mereka bisa melihat pun, kesombongan merekalah yang menahan mereka untuk menerima kebenaran.
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya”
(Al-Quran Surah al-Naml [27] : 14)
Itulah yang terjadi pada Fir’aun dan pengikutnya. Mereka mengetahui bahwa apa yang dibawa Musa dan Harun as adalah kebenaran yang nyata. Namun kezaliman dan kesombongan telah membuat mereka enggan menerimanya. Ada perasaan gengsi atau “malu” untuk menerima kebenaran sebagaimana adanya. Mereka khawatir bahwa jika mereka menerima kebenaran tersebut, maka martabat dan harga diri mereka bisa jatuh.
Diriwayatkan bahwa suatu malam, dua pemuka Quraisy: Abu Jahal dan Walid bin Mughirah melakukan tawaf sambil ngobrol membicarakan Muhammad Saw.
Abu Jahal : Demi Tuhan! Muhammad itu seorang jujur dan benar!
Walid : Hei darimana kau tahu!
Abu Jahal : Kita semua tahu, dari masa kanak-kanak sampai
remaja, kita mengenalnya sebagai seorang yang jujur
dan terpercaya. Lantas bagaimana mungkin setelah dia
dewasa dan akalnya sempurna, tiba-tiba dia menjadi
seorang pendusta dan pengkhianat?”
Walid : Lalu kenapa engkau tidak membenarkan dan beriman
kepadanya?
Abu Jahal : Apakah engkau ingin wanita-wanita Quraisy berkata :
Wah Abu Jahal telah tunduk dan menyerah kepada
Muhammad karena takut kalah? Demi Latta dan Uzza,
aku takkan mengikutinya! 2]
Sebagian orang lagi merasa sudah “pintar” atau sudah cukup merasa puas dengan pengetahuan atau informasi yang dimilikinya, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi melakukan review atas keyakinan yang mereka anut selama ini. Mereka juga mengabaikan kata hati nurani mereka. Inilah yang kita namakan KETIDAKJUJURAN TERHADAP DIRI SENDIRI. Kesombongan telah mencegah mereka untuk berlaku jujur terhadap diri mereka sendiri.
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS 96: 6-7)
10. KECINTAAN KEPADA DUNIA
Kecintaan kepada harta, wanita, serta kedudukkan duniawi sering membuat seseorang berpaling dari kebenaran. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia dapat membuat mata hati kita menjadi buta, spiritualitas kita padam, tanpa disadari kita telah mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Kita sudah mengetahui bahwa salah satu sebab kehancuran negeri ini disebabkan karena tindakan para pengkhianat bangsa, yaitu orang-orang yang mengkhianati bangsanya, saudaranya bahkan agama mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme benar-benar disebabkan oleh kecintaan mereka kepada dunia yang sudah sedemikian kuat. Kecintaan kepada dunialah yang menyebabkan mereka mengabaikan semua makna keabadian, keindahan dan cinta yang murni. Orang-orang yang cinta kepada dunia beranggapan bahwa mereka bisa hidup abadi dengan “dunia” yang mereka cintai itu.
Imam Ali as berkata, ”Barangsiapa yang sedang merindukan sesuatu niscaya pandangannya menjadi rabun, dan hatinya menjadi sakit, karena ia melihat dengan pandangan yang tidak benar dan mendengar bukan dengan pendengaran yang sebenarnya. Karena sesungguhnya syahwat telah membingungkan akalnya, dan dunia telah mematikan hatinya, dan cinta telah menjadikan dirinya bingung dan susah, karena ia telah menjadi budak baginya” 3]
Mereka bahkan bertindak lebih jauh, berusaha menghalangi orang lain yang ingin menghampiri kebenaran. Mereka menipu manusia, membuat kebenaran-kebenaran semu demi mengelabui banyak orang.
“Dan kecelakaan bagi orang-orang yang ingkar karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih mencintai kehidupam dunia dari kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan jalan Allah itu bengkok.” (QS Ibrahim [14]: 2-3)
Laa hawal wa laa quwwata illa billah.
Catatan Kaki
1. Hadits Al-Tsaqalayn bukan saja shahih, bahkan sudah sampai ke tingkat mutawatir.
2. Ali Sadaqat, 50 Kisah Teladan, hlm. 138, Penerbit Qarina, 2005
* Sebagian besar sumber tulisan ini merujuk kepada tulisan Al-Syahid Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Penerbit Mizan.
3. Muhammad Ridha al-Hakimi, Al-Hayah Jil. 1, hlm. 156, hadits no. 3; Nahjul Balaghah Syarah Muhammad Abduh 1 : 229,