Quito R. Motinggo
Akar kata du’a adalah da’a, yang berarti memanggil atau menyeru. Anda hanya dapat memanggil jika ada yang tak dapat dipisahkan dari dalam diri Anda, suatu energi yang akan menyempurnakan sebuah jawaban. Dari mana suatu pertanyaan datang, dari sana pula jawaban akan tiba. Yang memanggil sedang menyerukan satu kesatuan. Ia bisa memanggil karena ia mempunyai suatu energi di dalam dirinya dalam bentuk kehidupan yang merupakan sumber hasrat dari arah panggilan itu. Apa yang sedang Anda serukan berakar di dalam apa yang Anda panggil. Lewat pengalaman, seseorang menyadari, bahwa Anda hanya dapat meminta (berdoa) akan sesuatu yang Anda tahu dapat dicapai. Ini merupakan pengembangan fakultas intelek atau akal.
Di dalam bahasa ‘Arab, ‘aql berarti ikatan atau tambatan. ‘Aql adalah fakultas dari pemikiran yang dapat dikembangkan jika di sana ada sebuah ikatan atau tambatan, jika di sana ada ‘iqal. Hal ini merupakan bagian dari kultur orang-orang nomaden (yang tidak tinggal menetap di suatu tempat) untuk membuat seekor unta duduk. Sebaliknya, jika Anda tidak bisa menundukkannya, maka Anda tidak akan bisa menaruh berbagai barang di atas punggungnya. ‘ Iqal adalah tali pengikat yang mereka ikatkan pada kaki depan unta itu.
Jika seseorang memindahkan arah ini, ia akan menyadari bahwa ia tidak bisa membuat suatu permohonan, ia tidak bisa meminta apapun kecuali jika permohonannya itu dapat dicapai. Orang bodoh akan meminta sesuatu yang mustahil. Itulah romantisisme, mabuk, atau bahkan teracuni. Suatu titik dicapai di mana permohonan menjadi sangat pribadi, sedemikian subyektif, sangat batini, bahwa semua doa dapat terkabul, terbuka dan menerangi batin yang terdalam dari hati seseorang. Itu adalah doa yang terakhir. Suatu doa tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan bagian luar melainkan diteruskan menuju ke peningkatan batin.
Jika sesorang biasa membuat suatu permohonan yang tulus untuk sebuah rumah yang lebih baik, niat baiknya itu akan mewujudkan sebuah rumah yang lebih baik.
Niat itu suatu waktu akan menemukan sebuah jalan untuk mewujud menjadi kenyataan, termanifestasi di dunia materi dalam perolehan pengetahuan untuk mendapatkan sebuah rumah. Jika harapan itu tidak layak dengan hukum-hukum yang menentukan keberadaan, maka hal tersebut mesti dapat disadari orang tersebut. Dengan harapannya tersebut, ia akan menyingkap dirinya sendirinya, yang berarti perolehan dari apa yang tengah ia pinta. Mengenai hal ini Al-Quran sudah sangat jelas. Harus ada makna untuk berbagai hal-hal yang terjadi ini. Maryam as (ibunda Isa al-Masih as) sendiri harus lebih dulu mengguncang pohon kurma, karena buah kurma tidak akan jatuh tanpa ia guncangkan terlebih dulu.*]
Kita harus melakukan sesuatu untuk rezeki kita (makanan atau minuman bergizi) agar ia juga datang kepada kita. Hal ini merupakan efisiensi maksimum ketika Anda mengetahui dengan tepat bagaimana cara melakukan hal itu dan ketika Anda melakukannya.
Kesadaran seseorang atas harapannya mulai muncul dalam suatu kenyataan dan bergerak ke sesuatu yang subtil. Tidak ada salahnya dengan hal itu;Jika Anda menginginkan seorang teman dan Anda mempunyai suatu gagasan seperti apa teman yang Anda inginkan, maka Anda akan mencari-cari orang tersebut sampai Anda menemukan teman yang cocok. Ini merupakan janji yang alami. Kita dididik dalam hidup ini untuk memenuhi janji tersebut, dan kita belum memenuhinya. Kita sendiri yang menciptakan di dalam diri kita sendiri ketakterpenuhan itu. Kita terus-menerus berusaha untuk mengisi lubang di jalan yang kita gali dalam hati kita sendiri.
Doa dimulai dengan nyata dan diakhiri dalam kesunyian sebelum fajar (shalat subuh) pada akhir malam.
Kita semua menginginkan lingkungan yang tepat di mana kita dapat bekerja dengan baik. Kita semua menginginkan jaminan keselamatan agar dapat memikirkan dan mempertimbangkan penyebab dan pengaruhnya di dalam “laboratorium” kita yang kecil di dalam kehidupan kita ini. Kita semua menginginkan perlindungan “luar” agar dapat bergerak di “dalam” untuk menemukan makna di balik yang termanifestasi.
Doa dimulai dengan tuntutan luar. Kita menginginkan suatu suasana hati di mana “temperatur” tidak turun naik (fluctuate) terlalu tajam.
Semakin Anda puas akan kebutuhan dasar manusia, maka Anda akan semakin dapat bergerak ke arah unsur-unsur yang subtil (halus), sampai di suatu titik, di mana bahasa tidak lagi dapat mengungkapkannya, dan di sanalah terjadi keterjagaan pengenalan bahwa tidak ada lagi “dua”. Itulah pemenuhan yang terakhir. Kemudian ia mendorong untuk kembali ke kehidupan dengan kepercayaan penuh yang disebutnya sebagai diri (nafs) yang hanya merupakan keberadaan sekunder.
Kita semua adalah binatang secara biologis, namun begitu Anda dapat merasakan kenikmatan yang sejati, yang tidak lain adalah membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Jika kita tidak melakukan hal itu, maka kita akan menjadi galian lubang yang hanya akan memunculkan rasa tidak damai di dalam hati kita.
Jika benar kedamaian hati bukan sifat alami kita yang nyata, mengapa kita mencari-carinya? Jika kebahagiaan bukan realitas kita, mengapa kita mendambakannya?
Jika kedamaian bukan sifat alami kita yang nyata, kenapa kita mencarinya?
Jika hubungan timbal balik dan pengetahuan hubungan timbal balik dari segalanya tidak siap ditanamkan di dalam tingkatan sub-genetik kita, kenapa kita berusaha untuk memahami ciptaan yang besar maupun yang kecil?
Ini semua sudah inherent (menjadi bawaan lahir) dalam diri kita dan tidak bisa dipisahkan. Semua mesti begitu, jika tidak, kita tidak akan “menyatu” (unify) dengan mereka.
Seseorang yang mencari Allah, sebenarnya sedang memenuhi tuntutan alaminya. Ia mengatakan,”Aku ingin situasi yang lebih baik sedemikian sehingga aku dapat merenungkan dan menemukan.” Tetapi seringkali ia berhenti di situ. Sekali waktu rumah (yang didambakan) itu diperoleh, itu menjadi obyek pemujaan. Anda sering menemukan bahwa manusia itu bebas sebelum ia memperoleh kepemilikan tetapi sekali waktu mereka mempunyai sepotong dunia yang mereka tergoda olehnya.
Warisan Islam yang diajarkan oleh Imam Ja’far as bisa kita temukan pada doa, karena ia mempersatukan kita di dalam keinginan untuk meningkatkan sumber kita yang menyebabkan kita melakukan tindakan. Doa menyebabkan peningkatan motivasi-motivasi dasar kita. Doa juga mengangkat kita lebih tinggi dan semakin tinggi. Seseorang yang mengenali batasan-batasan yang ‘dipaksakan’ secara inheren di dalam berbagai sistem.
Suatu waktu batasan-batasan itu dapat dikenali, di mana tidak ada lagi kekecewaan. Hanya ada satu janji bagi kita untuk bisa bertahan hidup lebih dari satu jangka waktu tertentu. Itu semua bergantung kepada kita untuk memenuhi janji kita. Hal ini merupakan wawancara ke dalam di mana kita harus masuk, meninggalkan berbagai hal yang kita ciptakan dan kita anggap penting. Mereka membedakan seseorang dengan orang lain dan dari hari ke hari.
Manusia terperangkap dalam perubahan waktu yang terus menerus, padahal dia berakar di nirwaktu; Itulah sebabnya kita senantiasa membayangkan sebuah cinta yang abadi namun dengan cara yang salah. Kita mencari makanan yang dapat membuat hidup kita lebih panjang, bukan mencari tahu penyebab sesungguhnya dan sumber kehidupan yang berada di luar waktu (beyond time).
Inilah yang sebenarnya dimohonkan (oleh manusia). Inilah yang membantu doa menjadi kenyataan, yang secara rutin, seorang buruh tani memperoleh alat cangkul yang lebih baik, sebidang tanah, atau bahkan seorang isteri. Hal ini juga membantu orang yang lebih dalam inteleknya untuk mencari makna di balik yang ‘tak bermakna’.
Itulah yang disebut “shirat al-mustaqim.” Inilah yang merupakan sebuah garis, yang jika kita lihat dari titik permulaan, menjadi sejumlah titik-titik tanpa batas yang berlapis-lapis di atas titik-titik lainnya tetapi terjadi dari satu titik, dan satu titik itulah Sang Realitas!. Itulah satu titik yang tiada lagi titik di baliknya. Dan titik itulah manusia. Ia merupakan suatu tanda bukti tentangnya. Ia berisi makna tentang penyebab keberadaannya dan pengaruhnya.
Allah, subhana wa ta’ala berfirman,”Langit dan bumi tak mampu “memenuhi”-Ku, tetapi hati seorang beriman dapat “memenuhi”-Ku.”
Dia juga berfirman dalam Hadits Qudsi lainnya: “Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin dikenal, karena itulah Aku mencipta”. Itulah proses bagaimana dualitas terjadi. Kesadaran diri dari keduanya pun dimulai dan berakhir dengan peleburan ke dalam Yang Satu.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah
___________________________________________________________________________
Sumber : Discourse on Du’a by Shaykh Fadhlallah Haeri
Catatan kaki
*] Al-Qur’an Surah Maryam ayat 25
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar