Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

berubah-dan-tumbuh.JPG

“Setiap waktu Dia dalam kesibukkan”
(Al Qur’an Surah Al-Rahman [55] ayat 29)

Di dalam dunia penciptaan, segala sesuatu senantiasa berubah, tumbuh dan berkembang, atau dengan kata lain, bahwa setiap makhluk Tuhan senantiasa berubah, baik fisik mau pun rohaninya. Tak satu maujud pun yang tetap berada dalam kondisi yang sama setelah melalui perjalanan waktu, detik demi detik bahkan sekian perdetik demi sekian perdetik!

Kita pun selalu melihat proses perubahan dan pertumbuhan tersebut di sekitar kita, akan tetapi kita justru sering tidak sadar bahwa diri kita pun sedang mengalami perubahan.

Sebuah ilustrasi filsafat yang klise mungkin berhubungan dengan ini.
Seseorang filosof bertanya kepada saya,”Siapakah Anda?”

“Saya Ito”Jawab saya. Setelah mendengar jawaban saya, sang filosof pergi meninggalkan saya begitu saja. Esoknya saya berjumpa lagi dengan sang filosof dan dia bertanya lagi kepada saya,”Siapakah Anda?”

“Saya Ito” Jawab saya sambil tersenyum.

“Apakah Ito yang sekarang sama dengan Ito yang kemarin?” Tanyanya lagi.

“Ya!” Jawab saya agak ragu.

“Jadi, Anda tidak berubah?”

“Tentu saja saya berubah!”

“Jika Anda berubah, berarti Ito yang sekarang berbeda, dong, dengan Ito yang kemarin?”

“Fisik saya memang berubah tetapi esensi saya tidak berubah!” Jawab saya sekenanya.

“Benarkah?” Tanya sang filosof sambil tersenyum lebar dan seperti biasa ia pun ngeloyor pergi meninggalkan saya.

Saya tidak bermaksud ingin berfilsafat di dalam tulisan sederhana ini, akan tetapi setidaknya ingin mengajak Anda untuk bersama-sama merenung, bahwa sejatinya, seluruh makhluk Tuhan berada dalam perubahan yang terus menerus dengan proses yang sedemikian cepat.

Sebuah contoh menarik diberikan Muhyiddin Ibn ‘Arabi kepada kita, bahwa ketika kita melihat nyala api lilin, kita beranggapan bahwa nyala api tersebut tetap dan tidak berubah, padahal sebenarnya nyala api muncul dan lenyap susul menyusul dengan proses yang sangat begitu cepat sehingga mata kita tak mampu melihat perubahan muncul-lenyap dari nyala api lilin tersebut; yang tampak oleh kita hanya sepotong api yang bergerak melenggok-lenggok tanpa mengalami perubahan yang berarti. (Lihat : Dr. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan, h. 53)

Begitu pun jika kita melihat ke sebuah dinding atau ke diri kita, apabila kita perhatikan sebidang dinding yang berada di hadapan kita dengan seksama seolah-olah ia tetap dan tidak sedang mengalami perubahan, padahal jika kita ambil sebuah mikroskop dan kita letakkan di atas dinding niscaya akan tampak oleh kita bahwa telah terjadi penggerogotan terhadap dinding oleh mikroorganisme-mikroorganisme yang jumlahnya sedemikian banyak dan sedemikian cepat.

Ini pun terjadi pada diri kita! Sekian perdetik demi sekian perdetik usia kita semakin berkurang dan tubuh kita semakin renta. Perubahan ini hanya kita sadari apabila tubuh mulai terasa cepat lelah dan lemah atau mulai sakit-sakitan. Tetapi, ketika kita masih muda, sehat dan segar, perubahan-perubahan ini tidak sedikit pun kita rasakan. Namun selang beberapa waktu, tiba-tiba saja kita tersentak dan sadar begitu kita melihat ke cermin dan terlihatlah wajah kita yang mulai tumbuh uban atau kulit kita yang sudah mulai berkerut.

DUA MACAM PERUBAHAN DAN PERTUMBUHAN
Jika fisik kita berubah, tumbuh dan berkembang secara linear menuju kepada kemusnahan dan kehancuran, maka tidak demikian yang terjadi pada jiwa dan ruhani kita. Jiwa dan ruhani kita tidak selalu berubah secara linear. Sebagian jiwa orang tumbuh menuju kepada kehancuran – bahkan lebih cepat ketimbang fisiknya – dan sebagiannya lagi tumbuh berkembang menuju kepada keindahan dan keabadian.

Jika mata fisik kita – yang sangat terbatas ini – melihat ke wajah George W Bush, misalnya, kita melihat dengan jelas fisik Presiden Amerika Serikat ini sedang berada dalam proses penuaan dan beranjak tua atau bahkan pengagumnya akan mengatakan ia sedang berada di puncak-puncak staminanya. Lalu kita langsung menoleh menatap wajah Imam Ali Khamane’i, maka kita melihat proses perubahan yang sama juga terjadi pada beliau. Hanya saja jika mata batin kita terbuka, sebenarnya ada perbedaan yang sangat tajam, dimana yang pertama sedang berada dalam proses kehancuran baik fisik mau pun jiwanya, sedangkan yang kedua justru sedang tumbuh berkembang menuju kepada keindahan dan keabadian.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu HIDUP di sisi Tuhan mereka dengan memperoleh rezki” (QS Ali Imran [3] ayat 169)

Kita juga tahu bahwa Sayyid Ali Khamene’i memperoleh julukan dari Imam Khomeini qs sebagai syahid yang hidup, karena beliau pernah mengalami percobaan pembunuhan tetapi beliau selamat walau tangan kanannya putus akibat bom yang meledak dekat dirinya.

Melihat kenyataan ini, kita menjadi tersadarkan bahwa kebanyakan dari kita hidup seperti mesin, tidak menyadari apa yang ada dalam pikiran, perasaan dan tindakan-tindakan kita, tidak peduli kalau kita tetap melakukan kesalahan yang sama, tiga kali, empat kali dan seterusnya. Itulah sebabnya mengapa kita diminta untuk berpikir, merenung, dan bercermin pada segala yang ada di sekitar kita untuk belajar dari apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan.

Sama halnya dengan seringnya kita memilih makanan dan minuman yang bergizi untuk tubuh kita, namun dalam waktu yang sama kita lalai memberi perhatian pada kebutuhan-kebutuhan, gizi-gizi bagi jiwa dan ruhani kita.

Imam Hasan as berkata, ”Aku heran pada orang yang hanya memikirkan (kebutuhan) perutnya namun tidak memikirkan (kebutuhan) akalnya. Ia berusaha menjauhkan sesuatu yang dapat membuat perutnya sakit, tetapi membiarkan sesuatu yang dapat menjerumuskannya (ke Neraka)” (Safinah al-Bihar 2:84). Manusia sedemikian peduli dengan kesehatan jasmaninya, tetapi lalai memperhatikan kesehatan ruhaninya.

Untuk berbicara
orang harus lebih dulu
mendengarkan
Maka belajarlah bicara
dengan mendengarkan

~ Rumi, Matsnawi I : 1627

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!