“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan
padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya”
(Al-Quran Surah al-Naml [27] : 14)
SESUNGGUHNYA kecintaan seseorang kepada kebenaran dapat menambah keyakinan seseorang. Sebaliknya, keyakinan yang hanya didasarkan pada pengetahuan agama tidaklah memiliki pengaruh dengan bertambah atau berkurangnya pengetahuan yang dimiliki seseorang sebelumnya, karena bisa saja seseorang memiliki pengetahuan agama dan meyakininya, tetapi ia tidak menjalankan keyakinannya tersebut. Keyakinan dan iman hanya bisa bertambah jika seseorang dengan suka rela mengamalkannya demi mendukung keyakinannya tersebut dan tidak mengabaikannya untuk dijalaninya. Dengan kata lain, keyakinan semakin kuat dan utuh apabila seseorang mencintai iman dan agamanya, dan bukan sekadar mengetahuinya saja.
Ayat tersebut di atas berkenaan dengan keadaan Fir’aun dan pengikutnya yang sebenarnya di dalam hati mereka sudah ada benih-benih keyakinan kepada Nabi Musa as setelah mereka melihat mukjizat demi mukjizat yang diperlihatkan Musa as. Namun kezaliman dan keangkuhan (‘uluwwa) atau rasa tinggi hati mencegah diri mereka untuk berserah diri kepada Tuhan Musa.
Hal seperti ini pula yang terjadi pada Iblis. Keingkaran Iblis kepada perintah Tuhan bukan karena ia tidak memiliki ilmu atau pun keyakinan, tetapi keangkuhan dan egoismenya-lah yang menghalanginya untuk tunduk kepada perintah Tuhan. Jadi, seseorang bisa dikatakan beriman dan memiliki keyakinan hanya apabila ia menghormati, taat dan cinta kepada keyakinannya tersebut.
Diriwayatkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq as, bahwa (suatu hari) Rasulullah saww bertanya kepada para sahabatnya, ”Iman yang bagaimanakah yang kokoh (autsaq) itu?”
Sebagian dari mereka menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya sajalah yang lebih mengetahui!”
Sebagiannya lagi menjawab,” Shalat!”
Dan sebagian lagi menjawab,”Zakat!”… (hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang menjawab dengan benar).
Akhirnya Rasulullah saww pun bersabda, ”Aku katakan pada kalian, sesungguhnya iman yang kokoh itu adalah mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berwali (tawalla) kepada para wali Allah 1] dan berlepas diri (tabarra) dari musuh-musuh-Nya!” (al-Kulayni, Ushul al-Kafi, Kitab al-Iman wal Kufr, Bab al-Hubb fillahi wal bughdu fillahi, hadits no. 6, hal. 126)
(Dikutip dari Buku : Keajaiban Cinta, Quito R. Motinggo, Penerbit Hikmah, 2004, Jakarta)
Catatan Kaki :
1] Para wali Allah di sini adalah para Imam Ahlul Bait yang suci.
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar