Salah satu jalan untuk mencapai Ma’rifatullah atau mengenal Allah adalah Ma’rifat al-Nafs atau mengenal diri. Nabi saww bersabda, “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya” (Bihar al-Anwar 2 : 32). Ini berarti pengenalan diri merupakan keniscayaan menuju pengenalan kepada Tuhan. Mungkin karena itulah Imam Ali as berkata, “Aku heran kepada orang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya” (Mizan al-Hikmah 6 : 142)
DUALITAS NAFS
Syahid Murtadha Muthahhari rahimahullah di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas nafs. Beliau mengatakan, “Kerap kali Al-Qur’an berbicara tentang Nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti : “Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (Nafs) dari hawa-nafs, maka surgalah tempat tinggalnya” (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : “Sesungguhnya Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali Nafs yang mendapatkan ke-Rahim-an Tuhanku” (QS 12:53). Namun di lain ayat, Al-Qur’an menghormati dan menyanjung Nafs : “Dan janganlah kamu seperti itu orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada Nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq” (QS 59:19).
Murtadha Muthahhari mengatakan, “Sekiranya Nafs ini adalah Nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa.” Dengan alasan inilah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam: Nafs (Diri) Sejati dan Nafs (Diri) Fantasi. Agar lebih mudah dipahami, saya menyebut Diri Sejati dengan Nafs Insani dan Diri Fantasi dengan Nafs Basyari. Saya akan menjelaskan alasan saya nanti.
MAKNA NAFS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RUH
Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna Nafs secara lebih rinci dan jelas.
Beliau mengatakan bahwa banyak pengarang tidak membedakan antara Nafs dan Ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi). Sebaliknya jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara Nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (Ruh dan Jasad). Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan Ruh, sebaliknya menjadi keras, padat dan gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara Ruh dan Jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) antara keduanya. Biasanya Nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari Ruh, karena Ruh berasal langsung dari Tuhan: “Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku” (QS 15:29) Al-Qur’an tidak menyarankan bahwa Nafs manusia dan Tuhan terkait erat, sebagaimana Ruh manusia dengan Tuhan, dalam pengertian bahwa Nafs muncul setelah Ruh, karenanya sering diacu sebagai anak Ruh. Dari Ruh sifat-sifat Ilahi mengalir kedalam Nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran dan penglihatan. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad. Ruh menyuburkan Nafs dan Nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu Ruh dan Nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian, Sebaliknya jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara Ruh dan Nafs maka manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi Ruh, nafs dan jasad dengan mengatakan:
Tuhan adalah langit dan Ruh adalah bumi
Ruh adalah langit dan Nafs adalah bumi
Nafs adalah langit dan Jasad adalah bumi
(The Tao of Islam)
NAFS BASYARI DAN NAFS INSANI
“Dan Nafs serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Nafs itu kefasikan dan ketaqwaannya” (QS 91:7-8)
Ruh Ilahi yang merupakan unsur Ketuhanan menarik Nafs kepada ketaqwaan, sebaliknya Jasad yang mewakili unsur materi menariknya kepada kefasikan. Jadi seluruh gerak dan tindak tanduk manusia didorong oleh dua macam kekuatan yang berusaha mempengaruhi Nafs tadi. Nafs yang condong kepada Ruh Ilahi mengarahkan aktivitasnya kepada taqwa, inilah yang disebut Nafs Insani. Adapun Nafs yang ditarik oleh unsur jasadinya kepada kefasikan disebut Nafs Basyari. Nafs Basyari mendorong manusia berbuat dan bertindak berdasarkan kecenderungan jasadinya (fisiknya), seperti makan minum, berhubungan seks dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan. Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan Nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk!” (QS 15 : 33).
Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia. Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa manusia telah disempurnakan Allah dengan ruh-Nya: “Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)-nya Ruh-Ku”(QS 15:29) Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Seluruh manusia termasuk Nabi saww juga sama memiliki kedua macam Nafs ini. Allah SwT memerintahkan kepada Nabi saww untuk mengatakan kepada manusia bahwa dari sisi basyari-nya beliau sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu” (QS 18:110) Dalam banyak kesempatan Nabi saww berkata kepada khalayak manusia : “Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan isteri dan berjalan di pasar-pasar”. Sesungguhnya kecenderungan Nafs Basyari ini tidak seluruhnya buruk, artinya bahwa selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya, Allah justru memberi pahala untuknya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional maka hal inilah yang dicela agama. Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saww tentang hubungan sebadan antara suami isteri. “Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga?” Beliau menjawab: “Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa?” sahabat menjawab, “Ya” Rasul berkata lagi, “Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal!” (Mustadrak al-Wasail 2:531).
TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH
Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik Nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyah. Dengan Ruh Ilahi inilah Nafs sanggup mengadakan mi’raj melalui tafakkur, dzikir, dan shalatnya. Dengan Ruh Allah pulalah Nafs mampu mencapai kesadaran pada keberadaannya yang bergantung pada Khaliq-Nya. Dan dengan kesadaran seperti ini pula Nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur. Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS 95:4-5) Kata taqwiim mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawiim yang berarti bagus, benar atau lurus. Nafs Insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqim, jalan yang lurus ke kesempurnaan Insaniyyah (al-Jannah). Sebaliknya Nafs Basyari menjatuhkan manusia ke derajat yang paling rendah, Asfala Safilin (serendah-rendahnya derajat). Tarikan-tarikan yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (Nafs) manusia. Karena itu jika manusia yang tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap nafs basyari-nya) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu. Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecenderungan Insani-nya) atau tanah (fisik:kecenderungan basyari-nya) “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS 90:10), “Sesungguhnya beruntunglah manusia yang mensucikan Nafs (diri) nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori nafs-nya” (QS 91:9-10)
Jika manusia sanggup memenuhi panggilan (ilham) Ruh-Nya niscaya ia akan menjadi makhluk Tuhan yang terbaik. Kita bisa melihat manusia-manusia yang telah mencapai kemuliaan ruhani, keagungan, keindahan, kesadaran, kesalihan, keberanian, keimanan, kedermawanan, toleransi yang tinggi serta integritas watak yang menakjubkan. Tidak ada zat, baik material maupun immaterial, malaikat ataupun jin yang mampu berkembang sedemikian rupa! Namun kita juga bisa melihat manusia-manusia keji, nista, lemah, pengecut, dan kriminal, merosot lebih rendah dan lebih jelek dari hewan, kuman bahkan setan!
Lihatlah manusia-manusia semacam Fir’aun, Hitler, Slobodan Milosevic atau bahkan Syimr al-Jausan. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (QS 7:179)
TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN NAFS
Dr. Javad Nurbakhsy di dalam bukunya Psycology of Sufism mengatakan: “Sebagian besar Sufi berpendapat bahwa nafs tersusun atas empat tingkatan, yaitu nafs yang memerintah (Nafs Ammarah), nafs yang penuh penyesalan (Nafs Lawwamah), nafs yang terilhami (Nafs Mulhamah) dan nafs yang tenang (Nafs Muthma’inah)”.
TINGKATAN NAFS MULHAMAH
Nafs Mulhamah adalah nafs yang baru terilhamkan oleh tarikan Ruh Ilahi dan tarikan jasadi. Jika nafs condong kepada unsur Ruh Ilahi-nya ia akan naik memasuki tingkatan Nafs Lawwamah dan jika ia tertarik ke arah unsur jasadi-nya ia turun ke bawah, yaitu tingkatan Nafs Amarah (Nafs yang memerintah) Jadi pada tingkatan Nafs Mulhamamah, nafs belum melakukan aktivitas apapun. Pada permulaan tingkatan ini nafs bersikap netral.
TINGKATAN NAFS AMMARAH
Allah SwT berfirman : “Karena sesungguhnya Nafs itu selalu menyuruh (memerintahkan) kepada kejahatan kecuali Nafs yang diberi ke-Rahim-an oleh Tuhan-ku” (QS 12 : 53)
Pada awal tahap perkembangan jalan sufi (thariqat), ketika seseorang masih berada dibawah kendali dan dominasi nafs (Nafs Basyari), keadaan ini dikenal sebagai nafs yang memerintah (Nafs Amarah). Dalam keadaan-keadaan ini, di mana nafs masih terperangkap dalam sifat-sifat materi, dia berusaha menarik Ruh dan hati (qalb) menjauh dari tingkatan (maqam) yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah. (‘Izzuddin Mahmud Kasyani, Meshbah al-Hedayah wa Meftah al-Kefaya : 84). Nafs Amarah mendorong seseorang ke arah sifat jasadi dan kesenangan-kesenangan jasmaninya serta hasrat seksual. (Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat:312) Nafs Amarah memerintah seseorang untuk mendapatkan sifat jahat berdasar sifat materinya (jasadi) sendiri yang dibawa sejak lahirnya. Apabila seseorang menyerah terhadapnya, maka yang dapat ia hasilkan hanya kejahatan, karena dia hanya menyuruh kepada kejahatan. Kecuali jika Tuhan memberikan rahmat dan anugerah kepadnya. (‘Allamah Ismail Haqqi Brusawi, Tafsir Ruh al-Bayan 4:275)
Imam Ali as ketika melewati mayat-mayat Kaum Khawarij, setelah usainya pertempuran Nahrawan berkata: “Celakalah kalian! Kalian telah dirugikan oleh orang yang menipu kalian”, Seseorang bertanya kepada beliau: “Siapakah yang menipu mereka, ya Amirul Mu’minin?”, Beliau menjawab, ”Iblis yang menyesatkan, dan Nafs yang memerintahkan kepada kejahatan, yang telah menipu mereka dengan angan-angan, memudahkan mereka kepada maksiat, menjanjikan kepada mereka dengan kemenangan, dan akhirnya melemparkan mereka ke neraka!” (Nahjul Balaghah; Hikam : 323) Inilah gambaran yang tragis dari suatu akhir hidup manusia yang tergoda oleh kecenderungan jasadi-nya, yang menyeretnya ke bawah kepada stagnasi, kemandekan, dan keakuan (egoisme). Ia terseret ke bawah seperti tanah yang kian lama kian mengeras, kering dan kaku dan pada akhirnya pecah seperti kepingan-kepingan tembikar!
TINGKATAN NAFS LAWWAMAH
Nafs Lawwamah atau nafs yang penuh penyesalan dikenal demikian karena dia menyesal dan menyalahkan dirinya atas perbuatan-perbuatannya yang buruk. “Dan Aku bersumpah dengan Nafs yang amat menyesali dirinya” (QS 75 : 2) Nafs Lawwamah adalah nafs yang berada pada proses kembali kepada Allah dan proses menjauhi maksiat. Nafs ini menghukumi seseorang untuk menenggelamkan dirinya dalam penghancuran diri! (Abdul Karim al-Jailani, Insan Kamil fi Ma’rifati al-Awakhir wal Awail 2 : 43). Pada tahapan atau tingkatan ini, seseorang sedang menjalani penggemblengan terhadap nafs-nya.
Ia menyeret nafs-nya dari kecenderungan jasadi (materi)-nya yang dilambangkan dengan tanah, suatu lambang kerendahan, kehinaan, stagnasi, statis, ke arah yang berlawanan, yaitu dari bumi ke langit, dari tanah, jasad ke Ruh Ilahi. Ia mesti berjuang dan mulai melancarkan Jihad untuk memerangi Nafs-nya, yaitu Nafs Amarah-nya yang cenderung menyeretnya ke bumi, menariknya ke arah keduniawian, nafsu perut, syahwat-syahwat jasadi dan segala hasrat kepada materi. Melalui Jihad terhadap Nafs inilah Nafs Lawwamah akan sanggup menyeret seseorang ke pintu Taubat. Dan jika seseorang telah melaksanakan ke enam tahapan Taubat niscaya ia akan sampai ke tingkat Nafs Muthma’inah (Nafs yang tenang).
NAFS MUTHMA’INNAH
Nafs Muthma’innah adalah nafs yang telah menemukan ketenangan dan ketentraman karena Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Wahai nafs yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai” (QS 89 : 27-28) Nafs yang kepadanya diturunkan kedamaian dan disinari cahaya keyakinan, kedamaian dalam Allah dan terbebas dari kesusahan. (Tafsir Ruhul Bayan 10:433) Pada tahapan ini nafs telah memasuki gerbang Ruh Ilahi. Ia menjadi tenang dan damai karena disini manusia disemayamkan dalam kesucian, kebebasan, cinta, dan pengetahuan Ilahiyah. Ia menjadi cenderung kepada segala yang bersifat kekal abadi!
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar