“Para Nabi tidak diutus untuk menanamkan
kesadaran menyembah, tetapi mereka diutus untuk
mengarahkan naluri alamiah tersebut ke jalan yang benar”
~ Muhsin Qira’ati, Portu-ye az Asrare Namoz
Pada hakikatnya, manusia terlahir membawa seluruh potensi atau kesanggupan untuk menjalani kehidupan serta seluruh benih keberhasilan seperti : kesadaran, aktivitas dan kesiapan.
Manusia yang terlahir dengan keterkaitan secara alamiah dengan Yang Maha Mutlak takkan dapat mencapai keberhasilan dalam mengatasi masalah yang menghadang pergerakan peradabannya jika ia tidak menghubungkan dirinya dengan Yang Maha Mutlak.
Hal ini seperti yang telah kita lihat, tidak ada pengalaman yang lebih memadai, inklusif, dan lebih bermakna ketimbang keimanan dalam kehidupan manusia. Karena semua itu merupakan sebuah fenomena yang melekat pada manusia sejak dahulu.
Akan tetapi, keimanan sebagai sebuah naluri tidaklah cukup menjamin merealisasikan keterkaitan dengan Yang Maha Mutlak. Ibadah ritual, akhlak, serta prilaku yang benar dalam memenuhi naluri dengan menyeimbangkan dan menyelaraskannya dengan naluri-naluri serta kecenderungan lainnya merupakan satu-satunya jaminan keberhasilan tertinggi manusia.
Prilaku yang sesuai dengan naluri manusia merupakan cara membangkitkan dan memperkokoh naluri tersebut. Sebaliknya, prilaku yang bertentangan dengan naluri akan menghilangkan dan menghancurkan naluri tersebut. Benih anugerah serta kelembutan dalam diri manusia akan musnah karena tindakan-tindakan atau persetujuan atas kejahatan, dosa dan kebodohan.
Keberimanan kepada Allah atau perasaan kerinduan yang dalam terhadap yang gaib dan kelekatan kepada Yang Maha Mutlak harus memiliki tujuan yang menetukan cara yang memuaskan perasaan tersebut, serta cara memperkuatnya, menempatkannya selaras dengan semua perasaa sejati manusia lainnya.
Tanpa tujuan, perasaan tersebut akan mengalami kemunduran dan berbagai penyimpangan seperti yang terjadi pada perasaan keberagamaan yang menyimpang pada masa sejarah.
Tanpa perbuatan yang kuat, perasaan tersebut akan berkurang dan pendekatan kepada Yang Maha Mutlak akan terhenti menjadi realitas aktif dalam kehidupan yang mampu memmanfaatkan kekuatan-kekuatan positif. Ibadah ritual merupakan faktor yag memperkuat perasaan tersebut.
Ibadah ritual merupakan ekspresi praktis dan ekspresi naluri keberagamaan. Melalui ibadah-ibadah ritual inilah naluri berkembang dan menjadi kokoh dalam kehidupan manusia.
Ritual yang benar sebagai ekspresi praktis dari keterkaitan dengan yang Absolut-baik pengakuan dan penolakan. Pengakuan dan penolakan dengan demikian merupakan penegasan manusia yang terus-menerus tentang keterkaitannya dengan Allah Yang Maha Agung dan penolakan kemutlakan-kemutlakan lain yang pasti. Ketika seseorang memulai shalatnya dengan mengucapkan “Allah Maha Besar”, ia juga sedang menegaskan penolakan ini.
Ibadah ritual ini telah berhasil dalam lingkup praktis membangun generasi orang-orang beriman, di tangan Rasul saw dan pemimpin-pemimpin beriman setelahnya, orang-orang yang shalatnya merasuk dalam jiwa mereka, menolak semua bentuk kekuatan jahat dan ketundukan kepadanya. 34]
Imam Ali as berkata,”Amma Ba’du! Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Muhammad saww bertujuan mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari penghambaan (ibadah) kepada hamba-Nya kepada penghambaan (ibadah) kepada-Nya (saja) dan dari ikatan-ikatan perjanjian hamba-Nya kepada ikatan perjanjian kepada-Nya dan dari ketaatan kepada hamba-Nya kepada ketaatan kepada-Nya dan dari kepemimpinan (wilayah) hamba-Nya kepada kepemimpinan-Nya” 35]
Ruh penghambaan sudah tertanam dalam diri manusia jauh sebelumnya, seperti hasrat makanan yang ada pada setiap anak. Namun apabila tidak diarahkan, maka anak yang seharusnya memakan makanan yang enak mungkin saja melahap tanah dan menikmatinya.36]
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa ibadah merupakan kebutuhan tetap manusia dalam hidupnya, yaitu agar ia dapat terbebaskan dari perbudakan klasik mau pun perbudakan modern dalam pergerakan keberadabannya. Dan tidak ada pergerakan tanpa memutlakan yang kepadanya pergerakan itu terkait, dan sumber dari segala cita-cita.
Adalah kecenderungan fitri kepada Allah, cinta Ilahi, zikir, dan ibadahlah yang menyongsong gerak laju manusia menuju Allah. Begitu pula kecenderungan hidup bermasyarakat (homo socius), rasa cinta dan kasih-sayang terhadap sesama adalah motor utama bagi terwujudnya suatu masyarakat. Karakter-karakter ini merupakan bagian yang memotivasi dan “melicinkan jalan” bagi akal agar dapat membangun prilaku rasional manusia. 37]
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar