Quito R. Motinggo
Cinta Ilahi adalah ruh tanpa tubuh,
cinta duniawi adalah tubuh tanpa ruh,
cinta spiritual adalah tubuh dan ruh sekaligus.
(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah 2 : 347)
Muhyiddin Ibn ‘Arabi, “(Manusia) adalah zat yang mensintesakan realitas duniawi dan Citra Ilahi. Dia dihubungkan dengan sisi Yang Maha Suci, yang dari-Nya dia diwujudkan ketika Dia berfirman, “Jadilah” maka dia pun jadi, dan dia dihubungkan dengan ruh melalui ruhnya ; dan dia dihubungkan dengan dunia jasmani dan unsur-unsur melalui dunia alam, melalui esensi dasarnya. 104]
Jenis cinta manusia terbentuk dari dua jenis kecenderungan dari esensi dirinya, yaitu tanah dan ruh Tuhan.
Kecintaan manusia yang didominasi oleh kecenderungan asalnya, yaitu tanah atau materi menjadikan ia terperangkap dalam kesenangan-kesenangan jasadi semata, seperti makan, minum dan berhubungan seks. Kecintaan seperti ini menyeret manusia kepada tingkatan hewan, karena kecenderungan yang sama juga dimiliki oleh hewan.
Pada jenis kedua, yaitu kecintaan manusia yang didominasi oleh ruh Ilahi atau spiritual. Kecintaan dalam bentuk ini menjadikan manusia dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang murni bersifat Ilahiah, seperti beribadah, bersedekah dan pada tingkatan yang paling tinggi adalah terserap dalam Tuhan, yang ia cintai.
Jenis cinta yang kedua ini sang pencinta dapat menembus Cinta Ilahi hingga ia mendapatkan anugerah kecintaan dari Tuhannya.
KARAKTERISTIK CINTA DUNIAWI
Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Karakteristik cinta duniawi adalah bahwa pecinta hanya mencintai yang dicintainya demi kesenangan dan mencari kebahagiaan (dalam diri kekasih). Jadi pecinta mencintai kekasih hanya demi dirinya sendiri, bukan demi kekasih. 105]
Cinta seperti ini adalah Cinta Aksedental, yaitu kecintaan sang pencinta bukan pada diri yang dicintainya, tetapi pada apa yang melekat pada diri yang dicinta. 106]
Dalam bentuk ini, keintiman dan kemesraan ditentukan melalui hubungan fisik atau seksual. Pengalaman akan kesatuan badani ini dianggap sebagai jawaban untuk mengatasi keterpisahan karena cinta dalam bentuk ini cenderung menganggap keterpisahan sebagai keterpisahan fisik. 107]
Cinta semacam ini bersifat temporal, walaupun terasa mempesonakan dan terasa sangat mendalam, namun makin lama perasaan itu terasa semakin dangkal hingga akhirnya berubah menjadi keinginan untuk kembali menaklukkan hati orang lain lagi, untuk kembali mendapatkan cinta yang baru-dengan ilusi bahwa cinta yang baru akan berbeda dengan cinta yang sebelumnya. Ilusi-ilusi tersebut sangat ditopang oleh ciri memperdaya dari keinginan seksual. 108]
Keinginan seksual juga dapat didorong dan dirangsang oleh ketakutan akan rasa kesepian, oleh keinginan untuk menaklukkan orang lain atau untuk ditaklukkan oleh keangkuhan, oleh keinginan untuk menyakiti-bahkan oleh keinginan untuk menghancurkan. Kebanyakan orang terkecoh oleh anggapan bahwa dorongan seperti ini adalah suatu bentuk cinta, padahal hakikatnya dorongan ini hanyalah suatu bentuk keinginan dan hasrat terhadap fisik belaka. 109]
Cinta seperti ini sering tersamarkan dengan hasrat seksual semata, dimana cinta seperti ini memang terdorong oleh keinginan untuk bersatu secara seksual, tetapi tidak memperlihatkan sifat-sifat buas, rakus, dalam keinginannya untuk menaklukkan atau ditaklukkan, tetapi keinginan untuk berbaur dalam kelembutan serta kemesraan, sebaliknya keinginan dan hasrat pada penyatuan yang hanya bersifat fisik dan semata-mata untuk pemenuhan gejolak seksual tidak memiliki makna cinta sama sekali.
Cinta seperti ini merupakan bentuk cinta yang sangat tidak dapat dipercaya, karena landasan dasarnya hanya bertumpu pada pesona fisik, sehingga apabila yang dicinta tidak lagi memiliki pesona fisik – akibat cacat kecelakaan misalnya – sang pencinta akan segera kehilangan gairah cintanya.
Seandainya sang pencinta tidak dapat menaklukkan yang dicinta, maka akan muncul kemarahan, benci, dan dendam, sebagaimana sikap Zulaikha terhadap Yusuf yang rela memenjarakan Yusuf yang memiliki keteguhan iman.
Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Dia yang mencintai mereka (perempuan) hanya berdasarkan nafsu adalah cacat dalam pengetahuan tentang keinginan itu : bagi dia (si lelaki), perempuan adalah sekedar bentuk tanpa ruh, dan walaupun bentuk ini dalam realitas secara esensial adalah ruh, bagaimanapun juga ia tidak terlihat oleh seseorang yang mendekati istrinya – atau beberapa wanita lainnya – semata-mata demi kesenangan, tanpa menyadari kesenangan siapakah itu sesungguhnya. Jika dia tahu (kebenaran), dia akan tahu dengan siapa dia bersenang-senang dan siapa yang bersenang-senang itu – maka dia akan sempurna (dalam pengetahuan dan visi). 110]
Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Pada awalnya cinta duniawiah bukan untuk kepuasan diri atau kemurahan hati, karena disposisi alamiah tidak mengenal apa pun tentangnya – ia mencintai sesuatu hanya karena sifat khususnya, ingin bersamanya, dekat dengannya. Ini berlaku untuk semua hewan, dan setiap orang sepanjang mereka (dilihat dari sisi) kehewanannya. Hewan mencintai secara inheren, karena itulah eksistensinya, bukan karena alasan yang lain. Kendati demikian, ia tidak tahu makna dari eksistensinya. 111]
KISAH ABU SA’ID AL KHARRAZ BERJUMPA DENGAN SEORANG WALI
Dikisahkan bahwa Abu Sa’id al-Kharraz dan Ibrahim bin Sa’d ‘Alawi berjumpa dengan seorang wali Allah di tepi laut dan bertanya kepadanya, “Apakah jalan menuju Tuhan itu?”
“Ada dua jalan menuju Tuhan. Yang satu untuk orang awam dan yang satunya lagi untuk orang terpilih” Jawab sang wali.
Ketika keduanya, Abu Said dan Ibrahim menginginkan sang wali menerangkan lebih jauh masalah ini, sang wali telah mendahului menjelaskan, katanya, “Jalan orang awam adalah jalan yang kalian jalani (saat ini). Kalian menerima karena sebab tertentu dan kalian menolak karena sebab tertentu pula. Adapun jalan orang terpilih ialah hanya melihat Sang Penyebab, bukan melihat sebab”. 112]
JASAD MERUPAKAN UJIAN ATAS RUH
Abdul Jabbar al-Naffiri qs mengatakan, “Tubuh itu adalah suatu hakikat yang akan sirna dan ia merupakan batu ujian yang diciptakan Allah untuk menguji ruh. Sifat-sifat manusiawi dengan apa yang ada padanya seperti syahwat, keinginan-keinginan yang dikuti dengan pelanggaran-pelanggaran merupakan ujian atas ruh. Tiada wujud yang sebenarnya, kalau ditilik dari sifat manusia yang dikaitkan dengan kemanusiaan, tetapi yang ada hanyalah daya rangsang untuk menguji ruh agar dapat diketahui atau dikenal sampai sejauh mana martabat dan kedudukkan yang dapat dicapainya, apakah ruh bisa mencapai kepada Allah, lalu ruh mengarahkan segenap kemampuannya untuk merindukan dan mencintai Allah, ataukah sebaliknya, ruh ditarik oleh jasad dengan memanjakan syahwat-syahwat (keinginan-keinginan)-nya. 113]
APA ITU CINTA SPIRITUAL?
Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Cinta spiritual adalah cinta yang menyatukan untuk para pencinta, karena dia mencintai kekasih demi sang kekasih itu sendiri. Kalau cinta duniawiah, ia hanya mencintai kekasih demi dirinya sendiri. Ketahuilah bahwa cinta spiritual adalah ketika sang pecinta dikarakteristikkan oleh akal (aql) dan pengetahuan (‘ilm). Melalui akal ini dia menjadi bijaksana dan melalui kebijaksanaannya dia menjadi seorang alim …. Tatkala dia mencintai, dia tahu apa cinta itu, dia tahu makna dari pecinta dan realitas dari yang dicintainya ; dia mengetahui apa yang diinginkannya dari sang kekasih dan apa yang diinginkan kekasihnya. 114]
Cinta sejati adalah milik para Ahli Ma’rifat, yang mana cinta ditujukan pada diri sang kekasih bukan pada yang melekat pada diri sang kekasih maupun pengharapan atas imbalan yang dapat diperoleh dari sang kekasih.
TIGA TINGKATAN CINTA
Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan, “Ketahuilah bahwa Cinta memiliki tiga tingkatan. Pertama, adalah cinta duniawi, yaitu cinta orang-orang awam, yang tujuannya adalah penyatuan di dalam ruh hewan. Ia berakhir di dalam tindakan penyatuan fisik, di mana hasrat cinta menyebar melalui seluruh tubuh seperti air meresap ke kain wool, atau seperti resapan warna di dalam sesuatu yang diwarnai.
Kedua, adalah cinta spiritual dari jiwa, yang tujuannya adalah menjadi seperti Kekasih, menunaikan apa yang ditugaskan Kekasih dan mengetahui keputusan-Nya.
Ketiga, adalah Cinta Ilahi, yaitu cinta Allah kepada hamba dan cinta hamba kepada Allah, seperti dalam firman-Nya, “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” Derajatnya yang terbesar muncul dalam dua cara : (berdasarkan cara pertama) hamba melihat bahwa dia adalah wadah manifestasi untuk Allah, sedangkan Yang Nyata adalah Allah. Ini adalah seperti ruh untuk tubuh, interiornya, di mana ia selalu tak terlihat dan tak pernah tampak.
Jadi dia hanya melihat Dia sebagai seorang pecinta. (Di pihak lain) Allah menjadi wadah manifestasi untuk hamba, sehingga Dia disifati dengan apa saja yang disifatkan kepada sang hamba, dari segi keterbatasan, ruang dan karakteristik non-esensial, dan hamba tersebut melihat hal ini. Kemudian dia menjadi kekasih Allah. Seperti yang telah kami kemukakan, tidak ada batas untuk cinta yang benar-benar dapat diketahui. Ia dapat dibatasi dalam pembicaraan atau tulisan, namun tidak sebaliknya.
Kami membagi cinta yang adalah kualitas manusia menjadi dua jenis : cinta duniawiah yang sama dengan semua hewan, dan cinta spiritual yang sangat berbeda dan jauh dari cinta duniawiah. 115]
Tatkala engkau mampu meruntuhkan penjara jasad ini
engkau ‘kan segera dapat mengepakkan sayap
dan terbang tinggi bersama ruh
(Rumi, Diwan i Syams 33568)
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar