Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

ibadat2.jpg

Apabila Allah mencintai seorang hamba,

maka Dia ilhamkan kepadanya kebaikan beribadah”

(Imam ‘Ali as, Ghurar al-Hikam)

Ibadah merupakan bentuk ketundukan, pemujian dan kebersyukuran manusia kepada Tuhannya, dan hal ini hanya ditujukan kepada Tuhannya saja, dan dibenarkan dan dibolehkan hanya bila ditujukan kepada Allah semata-mata.

Mengakui Allah sebagai satu-satunya Sumber Kemaujudan, satu-satunya Tuhan dan pengelola seluruh makhluk, membawa kita mengesakan-Nya di dalam ibadah. Berulang-ulang al-Qur’an menekankan bahwa ibadah itu harus ditujukan hanya untuk Allah dan tidak ada dosa yang lebih besar daripada menyekutukan (syirik) kepada Allah.

RUH IBADAH

Dalam ibadah verbal dan aktif, manusia mengungkapkan lima hal berikut :

Melalui ibadahnya, baik yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata maupun perbuatan, manusia menyampaikan hal-hal tertentu:

1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus Allah yang mengandung arti kesempurnaan mutlak, seperti Mahatahu, Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Arti kesempurnaan mutlak adalah bahwa ilmu, kuasa dan kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain, dan merupakan akibat wajar dari independensi total dan sempurna-Nya.

2. Menyucikan Allah, dan menyatakan bahwa Dia tidak memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya.

3. Bersyukur kepada Allah, dan memandang-Nya sebagai sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat. Percaya bahwa segala rahmat dan karunia diperoleh dari Allah saja, dan bahwa yang lain hanya perantara yang ditentukan oleh Allah.

4. Mengungkapkan ketundukan dan kepatuhan penuh kepada Allah, dan mengakui bahwa kepatuhan tanpa pamrih wajib diberikan kepada Allah. Karena Allah Penguasa Mutlak dari segala yang ada, yang berhak mengeluarkan perintah, dan karena kita sebagai hamba, wajib menaati Allah.

5. Dalam sifat-sifat-Nya diatas, Allah tidak mempunyai sekutu. Hanya Dialah yang mutlak sempuma, dan hanya Dialah yang tidak memiliki kekurangan.

Hanya Dialah sumber sejati segala karunia, dan hanya Dialah yang patut disyukuri atas semuanya itu. Hanya Dialah yang patut dipatuhi sepenuhnya dan ditaati tanpa pamrih. Setiap kepatuhan lainnya, seperti menaati Nabi saw, para Imam, penguasa Muslim yang sah, orang tua dan guru, puncaknya haruslah berupa kepatuhan kepada-Nya, dan harus untuk mendapatkan rida-Nya. Itulah tanggapan yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah. Tanggapan seperti ini hanya dapat dan boleh dilakukan terhadap Allah SWT. 17]

DUA JENIS PENGHAMBAAN : IBADAH DZATI DAN IBADAH WADH’IY

Allah SwT berfirman,”Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia” (Al-Qur’an Surat al-Hajj ayat 18)

Muhyiddin Ibn ‘Arabi qs mengatakan,”Ketahuilah bahwa di dalam segala sesuatu selain Tuhan, penghambaan (‘ibadah) terbagi ke dalam dua jenis : (1) penghambaan yang melekat secara inheren (‘ibadah dzati), yaitu penghambaan yang hanya layak ditujukan pada Esensi Yang Mahabenar. Penghambaan ini berasal dari penyingkapan-diri Tuhan. Dan (2) penghambaan konvensional (‘ibadah wadh’iy, amriy), yaitu penghambaan yang berasal dari kenabian. 18]

Ketika manusia telah sepenuhnya mampu mengenal dirinya sendiri dan menempatkan dirinya secara tepat melalui ilmu tentang hakikat dirinya dalam hubungan dengan kenyataan bahwa dia adalah manusia, dia akan mampu melihat adanya perbedaan antara dirinya dengan kosmos. Dia melihat bahwa kosmos-yakni, segala sesuatu yang selain jin dan manusia-tunduk di hadapan Tuhan. Itulah ketaatan serta ketundukan terhadap Sang Pencipta dan Sang Penentu-nya yang telah menetapkan semua itu. Karenanya, manusia senantiasa berusaha menemukan hakikat yang akan menyatukan dengan kosmos, dan dia tidak menemukan sesuatu pun selain kemungkinan (imkan), kefakiran, kerendahan, ketundukan, ketergantungan dan kelemahannya. Kemudian, dia berusaha menemukan Yang Nyata melalui alam semesta. Dia melihat bahwa Dia menundukkan diri di hadapan-Nya, sekalipun hanya bayang-bayang-Nya. Dia melihat bahwa Dia tidak dapat ditemukan di dalam diri manusia-kebalikan dari segala sesuatu yang ada di dalam kosmos. 19]

Manusia seharusnya takut atau mengkhawatirkan dirinya, bahwa jangan-jangan dirinya adalah salah seorang di antara “sebagian daripada manusia” yang berada dalam ketertipuan. Kemudian, dia melihat bahwa kosmos telah ditakdirkan untuk tunduk pada Tuhan. Karenanya, orang ini mendapati dirinya berada dalam kefakiran serta memiliki ketergantungan terhadap seseorang yang dapat membimbingnya menuju kebahagiaan bersama Tuhan. Ketika dia mendengar firman Tuhan, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba kepada-Ku” (QS 51 : 56), dia menghamba kepada-Nya dengan kefakiran dan ketergantungan, sebagaimana kosmos tunduk pada-Nya. Namun, kemudian dia melihat bahwa Tuhan telah menurunkan berbagai perintah dan larangan, yang memungkinkan untuk dilaksanakan ataupun dijauhi. Karena itulah, ilmu tentang apa yang telah Tuhan turunkan kepadanya melalui Syari’at-Nya disesuaikan dengan kemampuannya, sehingga dia akan mampu melaksanakan sunnah, di samping yang wajib.

Kewajiban” (fardl) adalah kewajiban yang memungkinkan untuk dilaksanakan oleh esensi segala yang mungkin (mumkinat). “Amalan Sunnah” adalah seluruh perbuatan yang mesti dilaksanakan oleh seorang hamba yang menunjukkan ketergantungannya pada Tuhan dalam kaitan dengan “hak” Sang Penguasa serta merupakan tuntutan bagi keberhambaannya.

Ketika seorang hamba mengetahui bahwa Tuhannya telah memberikan perintah dan larangan kepadanya, kemudian dia memenuhi hak Sang Penguasanya serta tuntutan keberhambaannya, berarti dia telah mengenal dirinya. Dan setiap orang “yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya.” Dialah orang yang telah mengetahui bahwa Tuhannya telah memberinya perintah.

Bukan perpaduan lain kecuali kedua bentuk penghambaan tersebut, yaitu penghambaan dengan menjalankan perintah dan penghambaan dengan menjauhi larangan-kecuali manusia dan jin. Roh-roh malaikat tidak mengenal larangan, yang, sebagaimana telah dinyatakan oleh Tuhan, “Mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintah Tuhan kepadanya” (QS 66 : 6), akan tetapi Dia tidak menyebutkan satu larangan pun kepada mereka. Berkaitan dengan keberhambaan mereka, Tuhan berfirman, “Para malaikat itu tidak jemu-jemu bertasbih kepada Tuhan selalu, baik siang maupun malam” (QS 41 : 38); “Mereka tiada henti-henti bertasbih selalu malam dan siang” (QS 21 : 20). Begitulah kodrat penciptaan malaikat, yang melekat padanya penghambaan secara inheren (‘ibadah dzati), dan itulah penghambaan yang tidak mungkin “menembus” apa pun selain Tuhan.

Karena, sebagaimana telah kami sebutkan, manusia mencakup di dalam dirinya seluruh realitas kosmos, yaitu ketika dia telah mampu mengenal dirinya berkaitan dengan realitas-realitas ini, maka dia pun memiliki kewajiban tersendiri untuk melaksanakan-dalam hubungan dengan dirinya sendiri-penghambaan seluruh kosmos. Jika dia tidak melaksanakan hal ini, maka dia tidak akan mengenal dirinya sendiri berkaitan dengan hakikat (eksistensi) dirinya, karena hal ini merupakan (wujud) penghambaan yang melekat secara inheren (pada kodrat keterciptaannya).

Bentuk keilmuan mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Dia menyaksikan melalui ketersingkapan seluruh realitas tanpa kecuali di dalam hakikat penghambaannya, baik hal itu telah tersingkap olehnya ataupun tidak. Inilah apa yang aku maksud dengan ilmu hakikat, yakni (ilmu yang diperoleh) melalui ketersingkapan.

Ketika seseorang mampu menyaksikan hakikat, tidak mungkin baginya untuk menentang perintah Sang Penguasanya supaya menghamba: melaksanakan perintah dan menjauhi larangan baik berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dengan yang di luar dirinya. Ketika dia mengatakan, sebagaimana telah kami sebutkan, “Keagungan bagi Tuhan”, dengan sepenuh jiwanya, maka seluruh alam semesta akan tercakup di dalam jiwanya… Dia akan diberi pahala dengan pahala seluruh (penghuni) alam semesta. 20]

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!