“Aku heran kepada orang yang manakala kehilangan benda miliknya,
dia bersegera mencarinya,
tetapi manakala diri insaninya hilang,
dia enggan mencarinya”
(Imam Ali as, Mizan al-Hikmah 6:141)
TAHAPAN PERTAMA: MENEMUKAN DIRI
Manusia yang kehilangan nafs (diri)-nya adalah manusia yang kehilangan diri insani-nya, manusia yang kehilangan kesadarannya. Mereka ini adalah orang-orang yang nafs-nya ditarik oleh kecenderungan duniawinya. Mereka lebih menghargai nilai-nilai duniawi daripada nilai-nilai spiritual (ruhani). Imam Ali as mengatakan,”Ahlud dunia karakbin yusaru bihim wa humniyaam” – “Para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan kendaraannya sementara mereka tertidur” (Nahjul Balaghah, Hikam : 64).
Ini artinya bahwa para pencinta dunia adalah orang-orang yang telah hilang kesadarannya. Mereka terjebak oleh rutinitas hidup yang cenderung duniawi atau lebih tepatnya hidup sekedar memenuhi kebutuhan-kebuthan jasmani belaka. Padahal pusat dari diri insani manusia berada pada kesadarannya, yaitu kesadaran insani yang melampaui kesadaran hewani, kesadaran yang melibatkan esensi dan selukbeluk dari obyek kesadarannya. Kesadaran ini mampu melampaui kesadaran lingkungan yang hanya diperoleh melalui indera jasadi. Kesadaran ini juga mampu untuk melakukan generalisasi sehingga melampaui batasan-batasan lingkungannya. Kesadaran insani tidak bergantung pada kekinian dan mampu memperhitungkan masa mendatangnya, sehingga sanggup merubah sejarah. Inilah bentuk kesadaran yang membedakan nafs (diri) insani dari nafs (diri) hewani.
Perubahan-perubahan nafs (diri) dari nafs hewani ke nafs insani dapat digambarkan sebagai suatu perjalanan atau pendakian dari ketidak sempurnaan menuju kesempurnaan atau dari kelalaian menuju kepada ingatan dan kesadaran.
“Janganlah kamu termasuk orang yang melupakan Allah lantas Allah menjadikan mereka lupa akan dirinya sendiri” (al-Quran Surah al-Hasyr [59] ayat 19)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar!” (QS al-Balad [90] ayat 10-11)
Realitas manusia meskipun tunggal, tetapi memiliki indra-indra dan dimensi yang majemuk (jama’). Kesatuan manusia terletak pada kesadarannya yang diarahkan kepada satu arah, yaitu Ruh Ilahi, sementara kemajemukannya berkaitan dengan jasad yang memiliki banyak sisi dan bagian. Ruh Allah digambarkan sebagai pusat lingkaran sementara sekelilingnya adalah jasad. Nafs yang ditarik oleh kecenderungan jasadi sehingga berpaling dari pusat kepada sekelilingnya membuat nafs menyebar dan terpecah-pecah. Keadaan nafs yang terpecah-pecah inilah yang disebut hilangnya kesadaran. Sebaliknya jika nafs mengarah kepada pusat lingkaran atau sumbernya sendiri (Ruh Ilahi), ia menjadi menyatu dan menyeluruh dalam kesatuan. Ingatan dan kesadaran yang penuh berada dalam keadaan seperti ini. (Sachiko Murata, The Tao of Islam, hal.333)
TAHAPAN KEDUA: MEMBEBASKAN DIRI
Imam Ali as berkata,”Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua: Yang pertama adalah mereka yang datang ke (pasar) dunia ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar ini dan menjadikannya merdeka” (Nahjul Balaghah)
Orang yang menjual dirinya adalah orang-orang yang terampas kesadarannya sehingga ia kehilangan dirinya. Orang ini menyerahkan kebebasannya kepada orang lain, karenanya Imam mengatakan orang ini telah menjadikan dirinya budak! Budak bagi kecenderungan-kecenderungan jasadnya. Sementara orang yang membeli dirinya menjadi orang yang merdeka dan terbebaskan! Ini juga berarti bahwa kebebasan dan kemerdekaan tidak bisa tidak harus diperjuangkan dan tidak bisa diperoleh secara cuma-cuma. Sebelum ia membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu kecenderungan jasadi, pertama-tama sekali ia harus menemukan diri sejatinya. Ia harus mendapatkan kesadaran dari penemuan akan diri sejatinya itu. Kesadaran inilah yang nantinya akan mengantarkannya kepada upaya pembebasan! Salah satu tugas para Nabi adalah membuang beban dan belenggu dari manusia! “…yang membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (QS al-A;raaf [7]:157)
Contoh yang paling indah tentang usaha pembebasan nafs ini digambarkan Al-Qur’an dalam perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya, “Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim?”
Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” Mereka berkata: “(Kalau demikian) Bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan” Mereka bertanya: “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepadanya jika mereka dapat berbicara!” Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka..” (Qur’an Surah al-Anbiya’:58-64)
Al-Quran mengatakan dengan indahnya: “Faraja’uu ilaa anfusihim”, “maka mereka kembali kepada diri mereka sendiri!”, bahwa pada detik dan saat itu orang-orang yang berdebat dengan Ibrahim menemukan kembali diri mereka sendiri!. (Murtadha Muthahhari, Haula al-Tsaurah al-Islamiyah, hal.3)
Penemuan diri kaum Ibrahim diperoleh melalui proses berpikir, walaupun setelah itu mereka mengabaikan penemuan dirinya, itu soal lain. Paolo Freire di dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas membagi pemikir menjadi dua: pemikir naif dan pemikir kritis. Bagi pemikir naif , yang penting hanyalah membagi tempat bagi hari ini, sebaliknya bagi pemikir kritis, yang penting adalah kelanjutan dari perubahan realitas, kelanjutan dari proses pembebasan! “Sesungguhnya Allah tidak akan mereformasi suatu kaum sehingga mereka mereformasi diri (nafs) mereka sendiri” (QS al-Ra’d:11)
Perubahan eksternal tidak dapat terwujud sebelum perubahan internal diwujudkan. Mungkin inilah yang dimaksud bahwa kebebasan tidak bisa diperoleh begitu saja, kebebasan harus diperjuangkan dengan segenap kesungguhan hati. Dengan kata lain seseorang harus kembali kepada pusat kesadarannya dan menjaganya agar tetap di sana. Selama seseorang memiliki kesadaran akan dirinya, keinginan dan kehendak untuk bebas merdeka akan terus mengusik nafs-nya.
KISAH ABU DZARR AL-GHIFARI
Ketika khalifah Utsman bin ‘Affan gagal dalam usahanya membungkam protes dan kritik pedas dari Abu Dzarr ra atas kebijakan-kebijakan politiknya, akhirnya ia membuang Abu Dzarr ke Damaskus. Tetapi di Damaskus pun Abu Dzarr membuat pejabat setempat gelisah dan menjadi gusar bukan kepalang. Muawiyah yang menjabat Gubenur di sana mengeluhkan sikap-sikap Abu Dzarr kepada khalifah Utsman, sehingga Utsman kemudian mengirim budaknya kepada Abu Dzarr dengan membawa sekantung penuh uang dan Utsman berjanji akan membebaskan budaknya itu jika ia sanggup meyakinkan Abu Dzarr untuk menerima uang itu. Budak yang bermulut licin itu menemui Abu Dzarr dan membujuknya, namun Abu Dzarr tidak goyah sedikitpun, bahkan Abu Dzarr bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya, ia juga bertanya apakah orang lain juga diberikan uang sebagaimana dirinya? Abu Dzarr dengan tegas menolak pemberian uang tersebut. Budak itupun mulai putus asa dan akhirnya ia mencoba menggugah perasaan religius Abu Dzarr: “Tidakkah engkau ingin membebaskan budak?” “Ya, tentu!”, jawab Abu Dzar. “Saya adalah seorang budak Utsman, dan ia berjanjii akan membebaskan saya, jika Anda menerima uang ini. Oleh karena itu lakukanlah itu demi saya”,kata budak itu. Abu Dzar menjawab,”Saya sangat menginginkan kebebasanmu, tetapi jika saya menerima uang ini, kamu akan mendapatkan kebebasanmu sementara saya akan menjadi budak Utsman” (Murtadha Muthahhari, The Unschooled Prophet)
Kesadaran nafs Abu Dzarr telah mampu menangkap maksud-maksud licik dari siapapun yang hendak menjebaknya kedalam perangkap kecintaan kepada materi. Abu Dzar bisa menjadi contoh yang baik tentang kesadaran macam ini. Ia tidak rela menjual harga dirinya dengan nilai-nilai materi. Ia juga tidak rela dibeli oleh siapapun!. Ini merupakan contoh dari dari seorang manusia merdeka dan terbebaskan!
KESADARAN ILAHIYAT
Kesadaran untuk merdeka dari ikatan-ikatan materi, jasadi dan duniawi diperoleh oleh mereka yang telah menemukan asal dan tujuan dari keberadaannya. Imam Ali as berkata: “Semoga Tuhan memberkahi orang yang tahu dari mana ia datang, di mana ia berada sekarang, dan ke mana ia akan pergi” (Murtadha Muthahhari, Human Being in The Qur’an) Al-Qur’an sendiri mengatakan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami akan kembali”. (QS al-Baqarah [2] ayat 156). Kesadaran akan asal diri membuat manusia sadar bahwa keberadaannya harus dinilai dari sisi Insaniyah-nya, bukan dari sisi basyariyah (fisik)-nya. Sisi Insaniyah-nyalah yang membawanya pada kemuliaan. Dan karena alasan ini pulalah manusia harus berusaha membebaskan nafs-nya dari tarikan jasad atau duniawinya. Memang tak bisa diingkari bahwa tarikan jasadi atau duniawi sangatlah kuat, karena manusia adalah anak-anak dunia, Imam Ali as mengatakan: “Manusia adalah anak dunia dan seseorang tak bisa disalahkan karena mencintai ibunya” (Nahjul Balaghah, Hikam:313).
Hadits ini menjelaskan bahwa kecintaan manusia kepada dunia itu masih terbilang wajar jika proporsional. Walaupun demikian manusia harus disapih. Ia harus biasa dan bisa memisahkan diri dari ibunya. Ia tidak boleh terus menetek dan bergantung kepada susu ibunya. Jika tidak segera disapih maka ia akan terus bergantung kepada ibunya dan hal ini melambangkan sikap yang tidak dewasa alias kekanak-kanakan. Manusia bagaimanapun juga mesti berjuang dan berjuang untuk membebaskan dirinya dari keterikatan dan kebergantungan yang berlebihan kepada ibunya yaitu dunia. Perjuangan ini mesti ia lakukan agar ia sanggup menjadi manusia merdeka, dan menjadi Insan Sejati!
(Bersambung)
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar