Satrio Pinandito Motinggo
Dunia ini bagaikan bayangan awan, mimpi orang yang tidur
~ Imam Ali bin Abi Thalib as 1]
Banyak hal yang memabukkan kita dalam hidup ini, tetapi bila kita memandang alam kehidupan kita, akan kita sadari bahwa tidak ada yang lebih memabukkan ketimbang kehidupan kita sendiri. Kita dapat membuktikan kebenaran gagasan ini bila kita berpikir siapa kita kemarin dan membandingkannya dengan kondisi kita hari ini. Ketidakbahagiaan atau kebahagiaan kita, kekayaan atau kemiskinan kita kemarin, adalah seperti mimpi bagi kita.
Jatuh bangunnya kehidupan dan perubahannya yang terus menerus adalah seperti air yang mengalir, dan manusia mengidentifikasikan dirinya dengan air yang mengalir tersebut, walau dalam kenyataannya ia tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Misalnya saja, jika ia berubah dari miskin menjadi kaya dan setelah itu kekayaannya sirna darinya, ia pun berkeluh kesah; ia berkeluh kesah karena ia tidak ingat bahwa sebelum kaya dulu ia adalah orang miskin dan dari kemiskinan itu ia kemudian menjadi kaya. Jika seseorang dapat melihat seperti seorang penonton terhadap kehidupannya sendiri, niscaya ia akan mendapati bahwa hidupnya itu tiada lain kecuali kemabukan semata. Di satu waktu hidup membuat manusia merasa puas dan bangga, sementara pada saat lain malah menghinakannya.
Jika manusia dapat mengamati amal perbuatannya dalam kehidupannya sehari-hari, jika ia memiliki kesadaran akan keadilan dan pemahaman, akan sering ia dapati bahwa dirinya melakukan sesuatu yang tidak ia niatkan sebelumnya, atau mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia katakan, atau berbuat sesuatu yang membuatnya berkata, “Kenapa aku berbuat sebodoh ini!” Kadang-kadang dirinya mencintai seseorang, mengagumi seseorang, mungkin selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, walau mungkin tahunan itu sangat lama, kemudian ia merasa ada yang tidak beres, ada sesuatu yang lebih menarik, kemudian ia loncat ke jalan lain dan tidak tahu lagi dimana ia kini, atau siapa sebenarnya yang ia sukai.
Dalam aksi dan reaksi kehidupannya, adakalanya seseorang melakukan hal-hal atas dasar gerak hati, tidak memandang lagi apa yang sedang ia lakukan, ia katakan atau pikirkan. Ini menunjukkan bahwa manusia dalam aktifitas dunianya adalah seperti sebatang kayu yang terangkat ke atas oleh gelombang laut dan merosot ke bawah ketika gelombang itu turun.
Semakin seseorang berpikir tentang kehidupannya di dunia, semakin ia memahami bahwa ia tidaklah berbeda dengan anak-anak. Anak-anak menginginkan boneka untuk bermain, dan setelah lelah dengan boneka ia pun menginginkan mainan lain. Dan pada lain waktu ia malah merusak mainannya.
Demikianlah kira-kira kehidupan manusia, yang berbeda hanyalah ruang lingkupnya, tindakannya sama saja. Ia memandang hidup itu penting, mengumpulkan harta, kekayaan, ingin tenar, kedudukan yang lebih tinggi, semua obyek ini memabukkannya, pun setelah meraihnya ia tidak merasa puas. Ia mengira bahwa mungkin ada hal lain yang ia inginkan, padahal bukan itu yang sesungguhnya butuhkan. Namun begitu ia mendapatkannya dan menikmatinya, ia masih merasa belum puas juga, dan demikianlah seterusnya.
Sifat manusia adalah menjadi terbiasa dengan kesenangannya, makanannya, minuman atau segala aktifitasnya. Jika ia terbiasa dengan yang pahit-pahit, maka kepahitannya menjadi kesenangannya, jika ia terbiasa dengan yang asam-asam, maka keasaman menjadi kenikmatan baginya.
Ada orang yang terbiasa mengeluhkan hidup mereka, maka ketika tidak ada yang dikeluhkan, ia pun mencari-cari sesuatu untuk dijadikan keluhan. Sementara ada juga yang mencari simpati dari orang lain dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka telah diperlakukan dengan buruk. Inilah candu kehidupan.
Candu ini dapat dilihat dalam segala aspek kehidupan yang berbeda-beda, bahkan ia mengejawantah juga dalam kehidupan agama, filsafat dan mistik. Manusia memiliki hasrat dan mencari untuk mengetahui sesuatu yang tidak dapat dipahaminya. Dalam hati kecilnya, ia tidak akan suka bila dikatakan ia telah memahami segala sesuatu.
Manusia selalu membutuhkan kebenaran spiritual atau agama untuk dijadikan kunci untuk mencapai kebenaran puncak yang tidak dapat ia lihat karena kemabukan dan kecanduannya. Dan tidak ada yang dapat memberikan kebenaran ini. Ia ada di dalam jiwa, sedangkan jiwa manusia itu sendiri adalah kebenaran ini.
Kita hendaknya merasa haus, terus merasa kekurangan
terhadap apa yang telah diajarkan pada kita
dan tenggelam dalam kebingungan
Jauhi apa-apa yang memberikan keuntungan maupun kenyamanan
Jangan percayai siapa pun yang memujimu
Berikan harta simpananmu,
serta keuntungan dari modalmu, kepada mereka yang kekurangan
Lupakan rasa aman
Tinggallah di tempat yang menakutkanmu
Obrak-abrik reputasimu
Jadilah populer untuk hal-hal yang kurang mengenakkan.
Aku telah terlalu lama mencoba untuk berencana dengan penuh kehati-hatian.
Mulai sekarang, aku akan menggila.
~ Rumi
Catatan Kaki :
[1] , Bihar al-Anwar 79 : 122
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar