Imam Ali as pernah ditanya oleh Dzi’lib al-Yamani : “Apakah Anda melihat Tuhan Anda, wahai Amirul Mu’minin?” Imam as menjawab, “Apakah aku akan menyembah (beribadah) Tuhan yang tidak kulihat?” Dzi’lib bertanya lagi : “Bagaimana Anda melihat-Nya?” Imam pun menjelaskan : “Tidaklah ia dapat dicapai oleh penyaksian mata kepala, tetapi ia dapat dicapai oleh hati yang telah dipenuhi hakikat keimanan” (al-Qulub bi haqaiq al-Iman)” (Nahjul Balaghah, Khutbah No. 179)
BAGAIMANA MANUSIA DAPAT MELIHAT ALLAH?
Persoalan “Melihat Allah” adalah salah satu persoalan di dalam Ilmu Kalam yang tidak ada habis-habisnya dibahas oleh banyak ulama dari berbagai mazhab Islam. Persoalan “Melihat Allah” ini khususnya berkaitan dengan ayat : “Dan tatakala Musa datang (untuk bermunajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berbicara langsung kepadanya (Musa), (kemudian) ia (Musa) berkata (kepada Tuhan) : “Wahai Tuhan, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu” Tuhan berfirman,”Sekali-kali kamu tidak akan (lan) dapat melihat-Ku…” (QS 7 : 143)
Hampir seluruh mazhab Islam sepakat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di dunia ini, tetapi bisa dilihat dengan mata batin para kekasih-Nya. Namun persoalan “Melihat Allah” di alam akhirat, mazhab-mazhab Islam terbagi dua : sebagian berpendapat bahwa Allah selamanya tak dapat dilihat dengan mata lahir, dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa Allah bisa dilihat dengan mata lahir hanya di akhirat kelak dengan dalil ayat : “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat” (QS 75 :22) Saya tidak bermaksud menghindar dari perbedaan pendapat ini, tetapi blog ini bukan tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut.
MELIHAT ALLAH DENGAN MATA BATIN
Bagi banyak orang — termasuk saya — yang tertutup mata batinnya, “Melihat Allah” merupakan perkara yang hampir mustahil. Keimanan dan keyakinan kita yang lemah menjadikan penglihatan batin kita tertutup dari Realitas-Nya yang senantiasa hadir di mana pun kita berada. Al-Qur’an yang mulia mengatakan, “Dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada.” (QS Al-Hadid [57] ayat 4).
Dan ayat lainnya, “Kemana pun engkau berpaling, di sana ada wajah Allah.” (QS Al-Baqarah [2] ayat 115)
Mungkin saja kita mengetahui keberadaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, akan tetapi belum tentu kita merasakan dan meyakini kenyataan tersebut.
Berbeda dengan keyakinan kita, para kekasih Tuhan justru meyakini sebaliknya, sebagaimana yang diekspresikan oleh Sayyidu al-Syuhada’, Imam Husain as di dalam do’a-do’a beliau : “…Kapan Engkau pernah ghaib sehingga perlu bukti yang menunjukkan keberadaan-Mu? Kapan Engkau pernah jauh, sehingga tanda-tanda itu akan menyampaikan kepada-Mu? Sungguh butalah mata yang tidak melihat (menyadari) pengawasan Allah atasnya.” 31]
Seorang ‘arif billah, Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari rahimahullah mengatakan, “Bagaimana mungkin dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Zat yang menampakkan segala yang ada? Bagaimana pula dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, jika Dia-lah yang tampak pada segala sesuatu?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Yang tampak dalam setiap sesuatu?
Bagaimana dapat di yakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Yang Nyata untuk setiap sesuatu?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Nyata sebelum adanya segala sesuatu?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia lebih jelas tampak daripada segala sesuatu?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia-lah Dzat Yang Esa yang tidak ada di samping-Nya sesuatu apa pun?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal Dia lebih dekat kepadamu daripada segala sesuatu lainnya?
Bagaimana dapat diyakini kalau sesuatu dapat menghijab Tuhan, padahal seandainya tidak ada Dia niscaya tidak akan ada segala sesuatu?
Ini semua adalah suatu keajaiban, bagaimana Yang Maha Wujud dijelmakan kepada sesuatu yang bersifat tiada, dan bagaimana sesuatu yang baru yang bersifat bergantung pada lainnya dapat berdiri di sisi Tuhan Yang memiliki sifat kekal?” 32]
Jika kita meyakini Allah terhijab oleh sesuatu, maka bukankah hal ini berarti kita meyakini bahwa Allah “dibatasi” (dihijab) oleh sesuatu tersebut?
Dan jika kita meyakini bahwa Allah itu dibatasi oleh sesuatu, bukankah dengan demikian berarti Allah itu terbatas? Jika demikian berarti sesuatu yang membatasi itu dapat menguasai terhadap yang dibatasi? Padahal Allah, Maha Kuasa atas semua makhluk-makhluk-Nya!
Ibn ‘Atha’illah menambahkan, “Tak ada satu pun eksistensi di sisi Allah yang menutupimu dari-Nya, karena memang tidak ada apa pun selain Dia. Yang menutupi dari-Nya adalah ilusimu sendiri yang menganggap ada yang lain di samping-Nya.” 33]
Semua yang tampak oleh kita, hakikatnya, merupakan manifestasi Tuhan, karena kata Muhyiddin Ibn ‘Arabi, “Sesungguhnya entitas adalah satu, tetapi ia adalah banyak” (fa inna al-‘ayn wahidah wa hiya al-katsirah). 34]
Dengan kata lain, bahwa entitas-Nya adalah satu dari sisi Zat-Nya tapi banyak dari sisi penampakan-penampakan-Nya, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya.
Jika Anda melihat huruf, maka Anda tiada melihat titik-titik yang membentuk huruf, begitu pun sebaliknya, jika Anda melihat titik-titik yang membentuk huruf, maka Anda tidak melihat huruf yang terbentuk oleh titik-titik.
Atau jika Anda memerhatikan keindahan laut yang membentang biru, maka Anda terabaikan dari melihat sekumpulan air yang membentuk lautan tersebut, demikian juga sebaliknya.
Bagaimana pun, pengabaian kita akan hakikat-hakikat dari seluruh manifestasi-Nya merupakan hijab dari diri kita sendiri, karena sejatinya, kata Ibn ‘Atha’illah, “Al-Haqq (Allah) tidak pernah terhijab darimu, bahkan engkaulah yang terhijab dari melihat-Nya.” 35]
Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Sumber : qitori
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar