Kata 'sufi' berasal dari perkataan Arab – saf, yang berarti sejati. Alam batin sufi disucikan, menjadi sejati dan diterangi oleh cahaya ma'rifat, penyatuan dan keesaan.
Istilah sufi dikaitkan juga dengan bidang kerohanian mereka yang sentiasa berhubungan dengan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w yang dikenali sebagai ‘orang yang memakai baju bulu’. Saf, pakaian bulu yang kasar menggambarkan keadaan mereka yang miskin lagi hina. Kehidupan dunia di dalam kesempitan. Mereka sangat berhemat dalam makan, minum dan lain-lain. Dalam buku ‘al-Majm’ ada dikatakan, “Apa yang terjadi kepada ahli suluk yang suci ialah pakaian dan kehidupan mereka sangat sederhana dan hina”. Walaupun mereka kelihatan tidak menarik secara keduniaan tetapi hikmah kebijaksanaan (ma'rifat) mereka terdapat pada sifat mereka yang lemah lembut dan halus, yang menjadikan mereka menarik kepada siapa yang mengenali mereka. Mereka menjadi contoh untuk umat manusia. Mereka berpedoman dengan ilmu Ilahi. Pada pandangan Tuhan mereka berada pada martabat pertama kemanusiaan. Dalam pandangan mereka yang mencari Tuhan, orang sufi ini kelihatan cantik walaupun pada dzahirnya buruk. Mereka harus dikenali dan berupaya mengenali, dan mereka dengan harus dengan cara itu semua, karena mereka semua berada pada maqam keesaan dan harus nyata sebagai kesatuan.
Dalam bahasa Arab perkataan tasawuf, kerohanian Islam, terdiri dari empat huruf – ‘ta’, ‘sin’, ‘wau’ dan ‘pa’ (t,s,w,f). Huruf pertama, t, bermaksud taubat. Ini adalah langkah pertama harus diambil pada jalan ini. Ia adalah seolah-olah dua langkah, satu dzahir dan satu batin. Taubat dzahir dalam perkataan, perbuatan dan perasaan, menjaga kehidupan agar bebas dari dosa dan kesalahan dan cenderung untuk berbuat kebaikan dan ketaatan; meninggalkan keingkaran dan penentangan, mencari kesejahteraan dan kedamaian. Taubat batin dilakukan oleh hati. Penyucian hati dari hawa nafsu duniawi dan hati berniat mau mencapai alam ketuhanan. Taubat – mengawasi kesalahan dan meninggalkannya, menyadari kebenaran dan berjuang ke arahnya – membawa seseorang kepada langkah kedua.
Langkah kedua ialah keadaan aman dan sejahtera, safa. Huruf ‘s’ adalah simbolnya. Dalam tingkat ini juga ada dua langkah harus diambil. Pertama ialah ke arah kesucian di dalam hati dan kedua pula ke arah pusat hati. Hati yang tenang datang dari hati yang bebas dari kesusahan, keresahan yang disebabkan oleh masalah keduniaan ini, masalah makan, minum, tidur, perkataan yang sia-sia. Dunia ini seumpama tenaga tarikan bumi, menarik hati ke bawah, dan untuk membebaskan hati dari masalah tersebut maka harus menekan hati. Di sana ada pula ikatan-ikatan – hawa nafsu dan kehendak, pemilikan, kasih sayang kepada keluarga dan anak-anak – yang mengikat hati kepada bumi dan menghalanginya terbang tinggi.
Cara membebaskan hati, bagi menyucikannya, adalah dengan mengingati Allah. Pada permulaan dzikir ini hanya sebatas dzahirnya saja, dengan mengulangi nama-nama Tuhan, menyebutnya kuat-kuat sehingga orang lain bisa mendengarnya. Apabila dzikir kepada-Nya sudah istiqamah, dzikir tersebut masuk ke dalam hati dan berlaku di dalam senyap. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. ”. (Surat Anfaal, ayat 2).
Takut kepada Allah dalam ayat tersebut bermaksud takut dan berharap, memuji dan meminta belas kasih Allah. Dengan dzikir dan ucapan nama-nama Allah hati menjadi hidup, dari kelalaian, menjadi suci bersih dan bersinar. Kemudian bentuk dan rupa dari alam ghaib menjadi nyata di dalam hati. Nabi s.a.w bersabda, “Ahli ilmu dzahir mendatangi dan menerkam sesuatu dengan akal fikirannya sementara ahli ilmu batin sibuk membersihkan dan mengkilapkan hati mereka”.
Kesejahteraan pada pusat rahasia bagi hati diperoleh dengan membersihkan hati dari segala sesuatu dan menyediakannya untuk menerima Dzat Allah semata-mata yang memenuhi ruang hati apabila hati sudah diperindahkan dengan kecintaan Allah. Alat pembersihannya ialah terus berzikir dan menyebut di dalam hati, dengan lidah rahasia akan kalimah tauhid “La ilaha illa Llah”. Bila hati dan pusat hati berada dalam keadaan tenang dan damai maka tingkat kedua yang disimbolkan sebagai huruf ‘s’ selesai.
Huruf ketiga ‘w’ bermaksud wilayah, keadaan kesucian dan keaslian pencinta-pencinta Allah dan sahabat-sahabat-Nya. Keadaan ini bergantung kepada kesucian batin. Allah menggambarkan sahabat-sahabat-Nya dengan firman-Nya:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (Surat Yunus, ayat 62 – 64).
Seseorang yang di dalam kesucian menyadari sepenuhnya tentang Allah, mencintai-Nya dan senang berhubungan dengan-Nya. Sehingga pribadina menjadi indah, akhlak dan perangai yang pun baik. Ini merupakan hadiah suci yang dikaruniakan kepada mereka. Nabi s.a.w bersabda, “Perhatikanlah akhlak yang mulia dan berbuatlah sesuai dengannya”. Dalam tingkat ini orang yang di dalam kesadaran tersebut meninggalkan sifat-sifat keduniaannya yang sementara dan kelihatanlah dia diliputi oleh sifat-sifat Ilahi yang suci. Dalam hadis Qudsi Allah berfirman:
“Bila Aku mengasihi hamba-Ku, Aku menjadi telinganya, matanya, mulutnya, tangannya dan kakinya”.
Keluarkan segala-galanya dari hatimu dan biarkan Allah saja yang berada di sana.
“Dan katakanlah telah datang kebenaran dan telah lenyap kebathilan karena sesungguhnya kebathilan itu akan lenyap”. (Surat Bani Israil, ayat 81).
Bila kebenaran telah datang dan kebathilan telah lenyap maka selesailah tingkat wilayah.
Huruf keempat ‘f’ bermakna fana, lenyap diri sendiri ke dalam ketiadaan. Diri yang palsu akan hancur dan hilang apabila sifat-sifat yang suci memasuki seseorang, dan apabila sifat-sifat serta kepribadian yang banyak menghalangi tempatnya akan diganti oleh satu saja sifat keesaan.
Dalam kenyataan hakikat sentiasa hadir. Ia tidak hilang dan tidak juga berkurangan. Apa yang berlaku adalah orang yang beriman menyadari dan menjadi satu dengan yang menciptakannya. Dalam keadaan berada dengan-Nya orang yang beriman memperoleh karuniaan-Nya; manusia yang sementara menemui kewujudan yang sebenarnya dengan menyadari rahasia abadi.
“Semua akan binasa kecuali Wajah-Nya”. (Surat Qasas, ayat 88).
Cara untuk menyadari hakikat ini ialah melalui anugerah-Nya, dengan kehendak-Nya. Bila kamu berbuat kebaikan semata-mata karena-Nya dan bersesuaian dengan kehendak-Nya maka kamu akan menjadi dekat dengan hakikat-Nya, Dzat-Nya. Kemudian semua akan lenyap kecuali Yang Esa yang meridhai dan yang Dia diridhai, bersatu. Perbuatan baik adalah ibu yang melahirkan anak kebenaran; kehidupan dalam kesadaran bagi manusia yang sebenar-benarnya.
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur”. (Surat Fatir, ayat 10).
Atau apakah mereka mengatakan: "Kami adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang."Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang”. (Surat Qamar, ayat 54 & 55).
Tempat itu ialah tempat bagi hakikat yang penting, hakikat kepada hakikat-hakikat, tempat penyatuan dan keesaan. Ia adalah tempat yang disediakan untuk nabi-nabi, untuk mereka yang dikasihi oleh Allah, untuk para sahabat-Nya. Allah beserta orang-orang yang benar. Bila kewujudan bersatu dengan wujud yang abadi ia tidak boleh dipandang sebagai kewujudan yang terpisah. Bila semua ikatan keduniaan ditanggalkan dan seseorang itu dalam keadaan kesatuan dengan Allah, dengan kebenaran (hakikat) Ilahi, dia menerima kesucian yang abadi, tidak akan tercemar lagi, dan masuk ke dalam golongan:
dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. ”. (Surat A’raaf, ayat 42).
Mereka adalah:
“Orang-orang yang beriman dan beramal salih”. (Surat A’raaf, ayat 42).
Bagaimanapun:
“Kami tidak memberatkan satu diri melainkan sekadar kuasanya”. (Surat A’raaf, ayat 42).
Tetapi seseorang memerlukan kesabaran yang kuat:
“Dan Allah beserta orang yang sabar”. (Surat Anfaal, ayat 66).
Sumber : Madzhab Cinta
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar