Imâm al-Ghazâlî menjelaskan bahwa marah adalah nyala api neraka Allah Swt. yang menjilat hingga ke relung hati. Orang yang tidak mampu menahan amarahnya identik dengan orang yang telah menggeser perilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api. Oleh Karena itu, kemampuan mengendalikan nafsu amarah dipandang penting oleh agama.[43] Rasulullah saw bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ, ِانَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang yang kuat itu karena kemampuannya bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan nafsunya ketika marah.” (H.R. Muslim)[44]
Hadis di atas menunjukkan bahwa sifat marah itu dikategorikan ke dalam persoalan yang besar. Sebab, secara lahir orang yang marah akan mengomel, memaki, dan memukul orang, sedangkan secara batin melahirkan dendam, benci, selalu ingin berbuat jahat, ingin memaki dan membuka rahasia serta kehormatan orang, senang jika yang terkena amarah mendapatkan musibah, dan gelisah jika yang dimarahi mendapat kesenangan.
Untuk mencegah amarah ini Imâm al-Ghazâlî memberikan dua cara: [45]
a) Cara Pertama:
Menaham secara bertahap dengan latihan secara intensif. Bukan menghapus total sifat amarah. Karena sifat ini masih diperlukan sebagai alat untuk menghadapi orang-orang kafir, mencegah kemungkaran dan melakukan berbagai kebaikan yang memerlukan sifat marah.
Potensi marah itu ibarat anjing pemburu, yang perlu terus-menerus dilatih dan dibina agar tunduk pada pertimbangan akal yang sehat dan syariat agama. Sehingga dapat bangkit dan memuncak atas petunjuk akal dan agama, dan dapat dingin atas petunjukknya pula. Sebagaimana anjing pemburu, dapat diam dan mengejar, duduk dan memburu, atas perintah tuannya. Pengendalian ini hanya mungkin dilakukan dengan perjuangan (mujâhadah) yakni membiasakan bersikap lembut dan menahan diri dengan mencagah kemarahan.
b) Cara Kedua:
Manahan amarah ketika mencapai klimaksnya dengan jalan berdiam diri. Dan hal ini dapat ditempuh dengan ilmu dan amal.
Melalui ilmu, amarah merupakan salah satu sifat yang timbul karena keingkaran manusia atas kehendak Allah, bukan kehendak dirinya. Pengingkaran takdir Allah merupakan pangkal kebodohan. Sebagai hamba Allah, manusia harus menyadari dengan sepenuhnya bahwa murka Allah itu jauh lebih hebat dibandingkan amarahnya manusia. Sedangkan karunia-Nya jauh lebih besar dari segala sesuatu yang ada.
Berapa banyak manusia yang mendurhakai dan menentang perintah-Nya? Tetapi, mengapa Dia tidak cepat murka kepada makhluk-Nya itu? Mengapa justru manusia yang hanya memiliki sedikit jasa saja mudah marah terhadap orang lain yang membangkang terhadap perintahnya? Bukankah perintah dan larangan kepada hamba-hamba-Nya jauh lebih layak dan wajib untuk ditaati dibanding perintah manusia?.
Secara amaliah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar seseorang itu terhindar dari nafsu amarah:
a. Perbanyak membaca ta’awwudz, karena api amarah itu berasal dari setan dan selayaknya seseorang itu meminta perlindungan kepada Allah dari gangguannya
b. Bila amarah tidak kunjung mereda, sebaiknya duduk jika dalam keadaan berdiri, berbaring bila dalam keadaan duduk. Jika hal ini masih tetap tidak membawa hasil, segeralah berwudlu dan shalat atau membaca al-Qur’ân.
Posting Komentar