Dalam tulisan ini disajikan beberapa ayat dalam Al Quran yang menyebutkan mengenai tawasul.
Tawasul pengikut nabi Isa a.s.: Ali Imran 49
Allah swt. berfirman:
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka) : ‘Sesungguhnya aku (Nabi Isa as.) telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, Kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman' ”. Ali Imran ayat 49
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengikut Isa al-Masih ber-tawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidup- kan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah swt.., sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi.
Tetapi mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Nabi Isa as. memiliki ‘kedudukan khusus' ( jah /wajih ) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang di inginkan olehnya niscaya akan dikabulkan atau diizinkan oleh Allah swt. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; Meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent (merdeka) dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Sudah tentu, muslimin sejati selalu yakin dan percaya bahwa semua kekuatan dan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk Allah swt. tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Namun aneh jika kelompok Wahabi langsung menvonis musyrik bagi pelaku tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
Tawasul anak-anak nabi Ya'kub: Yusuf 97 & 98
Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah swt.. berfirman:
“Mereka berkata: ‘ Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)'” .
Jika kita teliti dari ayat ini maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Ya'qub as. mereka tidak meminta pengampunan dari Ya'qub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah swt.. Dan ternyata, nabi Ya'qub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah swt., karena Allah Maha mendengarkan segala per- mohonan dan do'a, malahan nabi Ya'qub as menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan:
“Ya'qub berkata: ‘ Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang' ”(QS Yusuf: 98).
Mohon ampun melalui Nabi Muhammad s.a.w : An Nisa' 64
Dalam surat an-Nisa' ayat 64, Allah swt. berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang ”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah saw. sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki keduduk- an ( jah/maqom/wajih ) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah swt.untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan ( istighotsah ) kepada Allah swt..
Semua ahli tafsir al-Qur'an termasuk Mufasir Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat An-Nisa: 64 itu diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melakukan kesalahan. Yang kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Dan mereka meminta ampun secara langsung kepada Allah, tapi lihat bagaimana Allah swt. telah meresponnya:
- Allah menolak untuk menerima permohonan ampun secara langsung, Dia memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi Rasulallah saw dan kemudian memintakan ampun kepada Allah swt, dan Rasulallah saw. juga diminta untuk memintakan ampun buat mereka. Dengan demikian Rasulallah saw. bisa dijuluki sebagai Pengampun dosa secara kiasan /majazi sedangkan Allah swt. sebagai Pengampun dosa yang hakiki /sebenarnya.
- Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seperti yang diperintahkan (menyertakan Rasulallah saw. dalam permohonan ampun mereka) hanya setelah melakukan ini mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.
Lihat firman Allah swt. itu malah Dia yang memerintahkan para sahabat untuk minta tolong pada Rasulallah saw. untuk berdo'a pada Allah swt. agar mengampunkan kesalahan-kesalahan mereka, mengapa para sahabat tidak langsung memohon pada Allah swt.? Bila hal ini dilarang maka tidak mungkin Allah swt. memerintahkan pada hamba-Nya sesuatu yang tidak diizinkan-Nya ! Dan masih banyak lagi firman Allah swt. meminta Rasul-Nya untuk memohonkan ampun buat orang lain umpamanya:
- Ali Imran:159: " Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka ..."
- An Nisaa':106: " dan mohonlah ampun kepada Allah "
- QS An Nuur :62: "... dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah "
- Muhammad :19: " mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan "
- Al Mumtahanah :12: " dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka "
- Al Munaafiquun: 5. ".. Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu " .
Tawasul Nabi Sulaiman : An Naml 38-40
Firman Allah swt.:
"Sulaiman berkata, 'Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin berkata, 'Aku akan datangkan kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya'. Seseorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata, 'lni termasuk kurnia Tuhanku.' " (QS. an-Naml: 38 - 40).
Firman Allah swt. itu menerangkan bahwa Nabi Sulaiman as. ingin mendatangkan singgasana Ratu Balqis dari tempat yang jauh dalam waktu yang cepat sekali. Hal ini merupakan kejadian yang luar biasa, sehingga Nabi Sulaiman as. dengan pengetahuan yang cukup luas mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan kekuasaan Allah. Dan pada saat itu Nabi Sulaiman as. tidak minta tolong langsung pada Allah swt. melainkan minta tolong kepada makhluk Allah swt. untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis tersebut. Semua ini ialah dalil yang menunjukkan bahwa minta tolong pada orang lain tidak menafikan ketauhidan kita kepada Allah swt.. baik itu dilakukan secara ghaib maupun secara alami . Syirik adalah urusan hati.
Jika Nabi Sulaiman as. meminta perkara ghaib ini dari para pengikutnya, dan jika seorang laki-laki yang mempunyai sedikit ilmu dari al-Kitab mampu melaksanakan permintaan itu, maka tentu kita terlebih lagi boleh meminta kepada orang yang mempunyai seluruh ilmu al-Kitab yaitu Rasulallah saw. dan Ahlu-Baitnya. Begitu juga menurut para ahli tafsir yang mendatangkan singgasana ratu Balqis itu jelas bukan Nabi Sulaiman sendiri tetapi orang lain, karena dalam ayat ini Nabi Sulaiman bertanya kepada ummatnya dan salah satu dari ummatnya yang mempunyai ilmu sanggup mendatangkan singgasana itu dengan sekejap mata. Dengan demikian seorang yang mempunyai ilmu ini bisa dijuluki juga sebagai Penolong/Pemindah singga-sana Ratu Balqis secara kiasan sedangkan Penolong/Pemindah yang hakiki /sebenarnya ialah Allah swt..
Sama halnya orang yang meminum obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Obat ini bisa dijuluki secara kiasan /majazi sebagai Penyembuh Penyakit tersebut sedangkan Penyembuh Penyakit yang hakiki /sebenarnya adalah Allah swt.
Tawasul Nabi Adam a.s : Al Baqarah 37
Ffirman Allah swt.yang berbunyi:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”. (Al-Baqarah :37)
Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas ? agar taubat Nabi Adam as. diterima ? ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab:
- Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi'i halaman 63, hadits ;ke 89;
- Yanabi'ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah;
- Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir)
- Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419;
- Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi'i, jilid 1 halaman 60;
- Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76.
- Pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk melengkapi makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra . (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa'id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:
“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu'. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.) : ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!' Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai'. Allah menegaskan : ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo'alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya) , engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan' “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha'ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala 'ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa'us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma'uz Zawa'id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:
‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka'.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu', seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha'if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu.
Sumber : Kawansejati
Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc
Posting Komentar