Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

thinker

(Bagian ke-1)

Sebelum kita membahas lebih jauh “Apa Itu Akal?” alangkah baiknya jika kita menyimak pendahuluan artikel al-Syahid Murtadha Muthahhari, yang berjudul “What is Philosophy?”. Beliau menghidangkan sebuah pendahuluan yang menurut saya sangat menarik dan perlu kita simak sbb :

“Para ahli logika mengatakan bahwa ketika seseorang bertanya tentang pengertian (hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang menanyakan berbagai macam perkara. Kadang-kadang seseorang sedang menanyakan pengertian konseptual dari sepatah kata. Maksudnya, jika kita bertanya tentang apa sesuatu itu, maka kita sedang menanyakan pengertian kata itu sendiri. Dalam menanyakan ‘apanya’ itu, kita berusaha mengetahui pengertian menurut kamus (lexical) atau pengertian idiomatik kata tersebut. Andaikan dalam membaca buku kita menemukan kata pupak dan tidak mengetahui artinya, lalu kita bertanya kepada seseorang, “Apakah pupak itu?” Dan orang itu menjawab, “Pupak adalah nama seekor burung.” Atau, katakanlah, kita membaca kata ‘kalimah’ (yang ternyata dalam bahasa Arab berarti ‘kata’) dalam istilah para ahli ilmu logika dan kita menanyakannya kepada seseorang, “Apa arti ‘kalimah’ dalam istilah para ahli logika?” Orang itu menjawab, “Kalimah dalam istilah para ahli logika berarti sama dengan fi’il (kata kerja) dalam bahasa para ahli tata bahasa.”

Jelaslah hubungan antara kata dengan pengertian bersifat konvensional dan terminologis, baik istilah (terminologi) itu bersifat terbatas maupun umum.

Dalam menjawab pertanyaan semacam itu, seseorang harus menelusuri contoh-contoh penggunaan, atau membuka kamus. Pertanyaan semacam itu mungkin mempunyal sejumlah jawaban, yang kesemuanya benar.

Karena, adalah mungkin bagi sebuah kata untuk memiliki berbagai arti dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, sebuah kata mungkin memiliki arti khusus dalam penggunaan para ahli logika dan para filosof, dan arti lain dalam penggunaan para ahli tata bahasa.

Kata kalimah memiliki satu arti dalam penggunaan secara umum dan dalam penggunaan para ahli tata bahasa, dan arti lain dalam pemakaian para ahli logika, para ahli hukum dan undang-undang. Jika sebuah kata memiliki dua arti atau lebih dalam satu kumpulan penggunaan, seseorang harus mengatakan bahwa kata itu memiliki arti dalam ungkapan ini, dan arti itu dalam ungkapan itu. Jawaban yang tersedia untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu disebut pengertian-pengertian verbal.

Kadang-kadang jika seseorang menyelidiki pengertian sesuatu, maka apa yang dicari bukanlah arti katanya melainkan hakikat (realitas) dari. rujukannya. Kita tidak bertanya, “Apa arti kata ini?” Kita mengetahui arti kata tersebut, tapi bukan realitas dan kesejatian rujukannya. Sebagai contoh, jika kita bertanya, “Apa manusia itu?” maka kita tidak berusaha mengetahui apa arti kata “manusia” itu. Kita semua mengetahui bahwa kata “manusia” digunakan bagi makhluk berkaki dua, berpostur tegak-lurus dan dapat berbicara. Sebaliknya dari mempertanyakan arti kata itu, kita berusaha mengetahui identitas dan realitas makhluk manusia ini. Jelaslah, dalam masalah ini, hanya terdapat satu jawaban yang benar, yang disebut definisi (ta’rif) yang nyata.

Pengertian verbal lebih dahulu dari pengertian (definisi) yang nyata. Yaitu, pertama-tama, seseorang harus memastikan arti konseptual kata tersebut, dan kemudian menggambarkan pengertian nyata dari rujukannya. Jika tidak, maka kekeliruan dan perselisihan-perselisihan tiada ujung akan timbul karena suatu kata mempunyai banyak arti menurut bahasa maupun ungkapan, dan keserbaragaman arti ini dapat diabaikan secara begitu saja.

Setiap kelompok dapat mendefinisikan suatu kata dengan arti khusus dan berikut pemakaian idiomatiknya, dengan tidak memperhatikan fakta bahwa arti itu menggambarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang digambarkan oleh kelompok lain. Akibatnya mereka berselisih secara sia-sia.

Kekeliruan untuk mengenali kata tersebut dari realitas rujukannya kadang-kadang berakibat munculnya transformasi dan evolusi yang menggantikan arti suatu kata yang dianggap berasal dari realitas yang ditunjukkannya.

Sebagai contoh, suatu kata tertentu pertama kali mungkin dipakai untuk suatu keseluruhan dan kemudian, lewat perubahan penggunaan, dipakai hanya untuk satu bagian dari keseluruhan tadi.

Jika seseorang gagal mengenali arti kata tersebut dari realitas rujukannya, dia akan mengira bahwa keseluruhan itu benar-benar telah dipecah-pecah, padahal kenyataannya tidak ada perubahan yang terjadi dalam keseluruhan itu. Yang sebenarnya terjadi adalah kata yang dipakai untuknya telah berganti maknanya untuk digunakan pada suatu bagian dari keseluruhan itu.” 1]

Kesalahan semacam inilah yang juga terjadi pada banyak kalangan terutama kalangan Sufi di dalam pemaknaan Akal. Muthahhari di dalam bukunya “Insan Kamil” juga mengkritik Aliran Irfan yang cenderung merendahkan akal. 2)

Bahkan artikel Dimitry Mahayana yang berjudul “Kesadaran Uniter Ilahiah: Melepaskan Diri dari Keraguan Cartesian3) mendapat tanggapan yang cukup “keras” dari Ustad Musa Kazhim (al-Habsyi) berkenaan dengan pemaknaan dan pemahaman Akal yang menurut Ust. Musa Kazhim keliru.

Ust. Musa Kazhim menulis artikel khusus yang berjudul “Kontroversi Seputar Akal, Hati dan Eksistensi “demi meluruskan pemahaman akal yang sebenarnya.

Sayyid Husayn Nashr, di dalam bukunya, Islam Dalam Cita dan Fakta, mengatakan bahwa “Arti akal bukanlah apa yang menjadi anggapan umum pada zaman modern ini, yaitu kecepatan berpikir dan kecerdasan gemilang yang bermain dengan ide-ide tanpa mampu mencapai dasar ide itu. Akal yang seperti ini serupa dengan danau es yang membeku di mana segalanya meluncur pada permukaannya, dari satu sisi ke sisi yang lain, tanpa mampu mencapai dasar danau. Bukan aktivitas mental serupa ini yang disebut akal di dalam Islam.

Kata al-‘aql di dalam bahasa Arab, selain berarti pikiran dan intelek, juga digunakan untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah satu arti dari akar kata ‘aql adalah ikatan.

Di dalam al-Quran, Tuhan menyebut mereka yang ingkar sebagai orang yang tidak bisa berpikir ‘laa ya’qiluun’ mereka yang tidak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Sangat ditekankan di dalam al-Quran bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendak yang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik. 4]

(Bersambung)

_________________

  1. Murtadha Muthahhari, What is Philosophy
  2. Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, hlm. 147, Penerbit YAPI Bangil, 1995
  3. Jurnal al-Huda Vol. 1, No. 3, 2001
  4. (Sayyid Husain Nashr, Islam Dalam Cita dan Fakta, hlm. 6, LEPPENAS, 1983)

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


Related Post



0 komentar

Posting Komentar

Share this post!
Facebook Delicious Digg! Twitter Linkedin StumbleUpon

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!