Tafakur

Kenapa tak henti-hentinya dirimu melupakan Alloh?, Padahal sedetikpun Dia tak pernah melupakanmu, Kenapa tak henti-hentinya kau puja cinta yang tak sebenarnya?, Sedangkan Sang Maha Cinta tak pernah melepaskan Cinta-Nya darimu.

Menu

Berlangganan

Dapatkan Artikel Terbaru Sufizone

Masukkan Alamat Email Kamu:

Delivered by FeedBurner

Visitor

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan

padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya”

(Al-Quran Surah al-Naml [27] : 14)

SESUNGGUHNYA kecintaan seseorang kepada kebenaran dapat menambah keyakinan seseorang. Sebaliknya, keyakinan yang hanya didasarkan pada pengetahuan agama tidaklah memiliki pengaruh dengan bertambah atau berkurangnya pengetahuan yang dimiliki seseorang sebelumnya, karena bisa saja seseorang memiliki pengetahuan agama dan meyakininya, tetapi ia tidak menjalankan keyakinannya tersebut. Keyakinan dan iman hanya bisa bertambah jika seseorang dengan suka rela mengamalkannya demi mendukung keyakinannya tersebut dan tidak mengabaikannya untuk dijalaninya. Dengan kata lain, keyakinan semakin kuat dan utuh apabila seseorang mencintai iman dan agamanya, dan bukan sekadar mengetahuinya saja.

Ayat tersebut di atas berkenaan dengan keadaan Fir’aun dan pengikutnya yang sebenarnya di dalam hati mereka sudah ada benih-benih keyakinan kepada Nabi Musa as setelah mereka melihat mukjizat demi mukjizat yang diperlihatkan Musa as. Namun kezaliman dan keangkuhan (‘uluwwa) atau rasa tinggi hati mencegah diri mereka untuk berserah diri kepada Tuhan Musa.

Hal seperti ini pula yang terjadi pada Iblis. Keingkaran Iblis kepada perintah Tuhan bukan karena ia tidak memiliki ilmu atau pun keyakinan, tetapi keangkuhan dan egoismenya-lah yang menghalanginya untuk tunduk kepada perintah Tuhan. Jadi, seseorang bisa dikatakan beriman dan memiliki keyakinan hanya apabila ia menghormati, taat dan cinta kepada keyakinannya tersebut.

Diriwayatkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq as, bahwa (suatu hari) Rasulullah saww bertanya kepada para sahabatnya, ”Iman yang bagaimanakah yang kokoh (autsaq) itu?”

Sebagian dari mereka menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya sajalah yang lebih mengetahui!”

Sebagiannya lagi menjawab,” Shalat!”

Dan sebagian lagi menjawab,”Zakat!”… (hingga tidak ada seorang pun dari mereka yang menjawab dengan benar).

Akhirnya Rasulullah saww pun bersabda, ”Aku katakan pada kalian, sesungguhnya iman yang kokoh itu adalah mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berwali (tawalla) kepada para wali Allah 1] dan berlepas diri (tabarra) dari musuh-musuh-Nya!” (al-Kulayni, Ushul al-Kafi, Kitab al-Iman wal Kufr, Bab al-Hubb fillahi wal bughdu fillahi, hadits no. 6, hal. 126)

(Dikutip dari Buku : Keajaiban Cinta, Quito R. Motinggo, Penerbit Hikmah, 2004, Jakarta)

Catatan Kaki :

1] Para wali Allah di sini adalah para Imam Ahlul Bait yang suci.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Yakin Tapi Tak Cinta

The reason people find it so hard to be happy is that they always see the past better than it was, the present worse than it is, and the future less resolved than it will be

Penyebab orang merasa sulit menjadi bahagia adalah
karena mereka selalu melihat masa lalu
lebih baik ketimbang yang sebenarnya,
dan (melihat) masa sekarang lebih buruk daripada kenyataannya
dan masa depan (seolah) telah ditentukan ketimbang dimungkinkan”

~ Marcel Pagnol

MELIHAT MASA LALU LEBIH BAIK DARI SAAT INI

Jadi ada 3 hal yang membuat seseorang sulit memperoleh kebahagiaan :

  1. Melihat masa lalu lebih baik ketimbang masa sekarang.

  2. Melihat masa sekarang lebih buruk ketimbang kenyataannya.

  3. Melihat masa depan seolah sudah ditentukan ketimbang dimungkinkan.

Seseorang yang senantiasa melihat masa lalunya lebih baik ketimbang masa sekarangnya adalah seorang yang melankolis, senang berandai-andai, dan senang dengan nostalgia, namun enggan berbuat sesuatu untuk saat ini. Inilah orang yang jauh dari kebahagiaan, karena kebahagiaannya terletak dalam memorinya, atau dalam kenangan “manis”nya saja.

Masa lalu memang bukan untuk dilupakan, tetapi juga bukan hanya untuk dikenang-kenang saja dengan angan-angan ingin kembali ke masa lalu sambil bergumam, “Andai saya punya time machine saya akan kembali ke masa lalu”.

Banyak orang-orang yang sudah lanjut usia senang membicarakan masa lalunya seolah-olah mereka sudah bukan apa-apa lagi untuk masa sekarang. Tentu saja ini cara berpikir yang keliru, karena masih banyak kita temui orang-orang yang sudah lanjut usia menciptakan karya-karya hebat. Tidak sedikit kita dapati seniman-seniman yang sudah usia lanjut malah menelurkan karya-karya spektakulernya. Lihat saja misalnya Affandi, Basuki Abdullah, dan masih banyak pelukis atau seniman lainnya. Mereka berbahagia, karena mereka mampu berkarya dan membuat orang lain turut merasakan kebahagiaannya. Ini salah satu bukti bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya terletak pada hasrat yang tak putus-putus untuk selalu melakukan hal-hal positif bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.

Anda bisa saja melukis, entah dengan cat air atau cat minyak, walaupun Anda merasa tidak bisa melukis. Lakukanlah dan melukislah dengan perasaan yang senang dan penuh rasa percaya diri. Bagus atau tidaknya lukisan Anda itu tidak terlalu penting, karena yang paling penting Anda dapat sepenuhnya mengekspresikan diri Anda ke dalam sebuah lukisan yang Anda buat. Atau kalau Anda mau Anda pun bisa menulis sebuah tulisan di dalam sebuah buku khusus atau di blog milik Anda, anggap saja itu sebuah “diary’ Anda. Ini sudah sangat memadai. Anda dapat melakukan apa pun yang positif sekehendak hati Anda. Anda mesti ingat bahwa kebahagiaan itu bukan semata-mata milik mereka yang memiliki keahlian tertentu. Siapa pun layak bahagia, begitu pun Anda dan semua itu bergantung pada diri Anda dan rasa percaya diri yang Anda miliki terhadap kebahagiaan itu sendiri.

Jadi, sekali lagi jangan Anda “terikat” oleh masa lalu Anda, Anda tidak bisa disalahkan karena Anda punya masa lalu yang buruk, tetapi Anda bisa berada di dasar sumur yang teramat dalam, gelap dan pekat karena Anda “terbelenggu” oleh masa lalu Anda, baik itu masa-masa lalu Anda yang indah mau pun yang sebaliknya.

BELAJAR DARI MASA LALU

Bagaimana pun, mengingat masa lalu adalah baik dan penting sejauh masa lalu itu kita jadikan pelajaran. Masa lalu kita, sejarah orang-orang terdahulu dan catatan-catatan memoar orang-orang besar maupun para dikatator bisa menjadi pelajaran yang hebat bagi kita, karena kita bisa menjadikannya sebagai indikator atas tindakan-tindakan kita saat ini.

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Nûr [24]:34)

Dari masa lalu dan sejarahlah kita bisa belajar untuk berbuat lebih baik, dan bertindak lebih benar dan lebih tepat. Oleh karena itu alangkah aneh jika ada sebagian orang yang sedemikian alergi dengan sejarahnya sendiri?

Imam Ali as berkata, “Anda tidak perlu bereksprimen dengan berbuat jahat kemudian melihat apa yang diakibatkan oleh perbuatan jahat Anda, tetapi cukup Anda amati sejarah, dan Anda lihat apa yang terjadi atas orang-orang jahat pada masa lalu karena perbuatan mereka itu!”

Memang butuh kejujuran dan hati nurani yang bersih untuk melihat diri kita sendiri pada kejadian-kejadian masa lalu yang pernah kita perbuat, perlu kelapangan dada untuk melihat sejarah yang dilakukan oleh nenek moyang kita atau oleh orang-orang yang kita cintai. Tanpa itu semua sejarah cuma tinggal cerita atau bahkan dongeng, atau barangkali kita lebih senang dengan dongeng-dongeng ketimbang sejarah?

Sejarah atau masa lalu bisa menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita jika kita mau melihatnya secara jujur, jernih dan terbuka. Tanpa semua itu kita hanya akan menjadikan sejarah sebagai reruntuhan atau serpihan dari kerja keras para sejarawan yang telah berupaya menulis ribuan buku demi orang-orang di masa mendatang. Padahal

Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman, “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al-Baqarah [2]:66)

Jika kita menganggap orang-orang terdahulu atau orang-orang yang bersama Rasulullah tidak pernah melakukan kesalahan, maka kita tak pernah dapat belajar dari apa yang terjadi di masa itu. Semua akan sia-sia dan ayat-ayat Tuhan seperti di atas itu takkan pernah punya manfaat sedikit pun!

Albert Einstein mengatakan,”Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow. The important thing is not to stop questioning.” Belajarlah dari masa lalu, hiduplah untuk hari ini dan berharaplah untuk masa datang”

Hiduplah untuk saat ini, untuk hari ini, untuk detik ini. Jalani tugas-tugas Anda dengan benar, penuhi tanggung jawab Anda, dan isilah hidup Anda dengan harapan, bahwa esok Anda akan mendapatkan hal-hal yang jauh lebih baik ketimbang sekarang.

Harapan Anda takkan terwujud jika Anda tidak pernah melihat masa lalu Anda atau sejarah sebagai sebuah PELAJARAN. Jika Anda tidak belajar dari masa lalu Anda atau sejarah, Anda tidak akan pernah tahu apa saja kesalahan Anda, apa saja kesalahan orang-orang terdahulu dan apa yang mesti Anda perbaiki untuk mengubahnya agar menjadi lebih baik. Jika Anda tahu apa saja yang salah di masa lalu, niscaya Anda dapat memperbaikinya saat ini, dan jika Anda tahu apa saja yang benar yang telah Anda lakukan pada masa lalu, maka saat ini Anda bisa berbuat yang jauh lebih baik dan lebih benar. Jika ini sudah Anda lakukan Anda layak berharap hari-hari esok Anda akan bersinar lebih terang dan lebih cerah!

Allahumma shalli ‘ala Muhammadin wa aali Muhammad!

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Anda Layak Bahagia

doa.jpg

Quito R. Motinggo

Akar kata du’a adalah da’a, yang berarti memanggil atau menyeru. Anda hanya dapat memanggil jika ada yang tak dapat dipisahkan dari dalam diri Anda, suatu energi yang akan menyempurnakan sebuah jawaban. Dari mana suatu pertanyaan datang, dari sana pula jawaban akan tiba. Yang memanggil sedang menyerukan satu kesatuan. Ia bisa memanggil karena ia mempunyai suatu energi di dalam dirinya dalam bentuk kehidupan yang merupakan sumber hasrat dari arah panggilan itu. Apa yang sedang Anda serukan berakar di dalam apa yang Anda panggil. Lewat pengalaman, seseorang menyadari, bahwa Anda hanya dapat meminta (berdoa) akan sesuatu yang Anda tahu dapat dicapai. Ini merupakan pengembangan fakultas intelek atau akal.

Di dalam bahasa ‘Arab, ‘aql berarti ikatan atau tambatan. ‘Aql adalah fakultas dari pemikiran yang dapat dikembangkan jika di sana ada sebuah ikatan atau tambatan, jika di sana ada ‘iqal. Hal ini merupakan bagian dari kultur orang-orang nomaden (yang tidak tinggal menetap di suatu tempat) untuk membuat seekor unta duduk. Sebaliknya, jika Anda tidak bisa menundukkannya, maka Anda tidak akan bisa menaruh berbagai barang di atas punggungnya. ‘ Iqal adalah tali pengikat yang mereka ikatkan pada kaki depan unta itu.

Jika seseorang memindahkan arah ini, ia akan menyadari bahwa ia tidak bisa membuat suatu permohonan, ia tidak bisa meminta apapun kecuali jika permohonannya itu dapat dicapai. Orang bodoh akan meminta sesuatu yang mustahil. Itulah romantisisme, mabuk, atau bahkan teracuni. Suatu titik dicapai di mana permohonan menjadi sangat pribadi, sedemikian subyektif, sangat batini, bahwa semua doa dapat terkabul, terbuka dan menerangi batin yang terdalam dari hati seseorang. Itu adalah doa yang terakhir. Suatu doa tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan bagian luar melainkan diteruskan menuju ke peningkatan batin.

Jika sesorang biasa membuat suatu permohonan yang tulus untuk sebuah rumah yang lebih baik, niat baiknya itu akan mewujudkan sebuah rumah yang lebih baik.

Niat itu suatu waktu akan menemukan sebuah jalan untuk mewujud menjadi kenyataan, termanifestasi di dunia materi dalam perolehan pengetahuan untuk mendapatkan sebuah rumah. Jika harapan itu tidak layak dengan hukum-hukum yang menentukan keberadaan, maka hal tersebut mesti dapat disadari orang tersebut. Dengan harapannya tersebut, ia akan menyingkap dirinya sendirinya, yang berarti perolehan dari apa yang tengah ia pinta. Mengenai hal ini Al-Quran sudah sangat jelas. Harus ada makna untuk berbagai hal-hal yang terjadi ini. Maryam as (ibunda Isa al-Masih as) sendiri harus lebih dulu mengguncang pohon kurma, karena buah kurma tidak akan jatuh tanpa ia guncangkan terlebih dulu.*]

Kita harus melakukan sesuatu untuk rezeki kita (makanan atau minuman bergizi) agar ia juga datang kepada kita. Hal ini merupakan efisiensi maksimum ketika Anda mengetahui dengan tepat bagaimana cara melakukan hal itu dan ketika Anda melakukannya.

Kesadaran seseorang atas harapannya mulai muncul dalam suatu kenyataan dan bergerak ke sesuatu yang subtil. Tidak ada salahnya dengan hal itu;Jika Anda menginginkan seorang teman dan Anda mempunyai suatu gagasan seperti apa teman yang Anda inginkan, maka Anda akan mencari-cari orang tersebut sampai Anda menemukan teman yang cocok. Ini merupakan janji yang alami. Kita dididik dalam hidup ini untuk memenuhi janji tersebut, dan kita belum memenuhinya. Kita sendiri yang menciptakan di dalam diri kita sendiri ketakterpenuhan itu. Kita terus-menerus berusaha untuk mengisi lubang di jalan yang kita gali dalam hati kita sendiri.

Doa dimulai dengan nyata dan diakhiri dalam kesunyian sebelum fajar (shalat subuh) pada akhir malam.

Kita semua menginginkan lingkungan yang tepat di mana kita dapat bekerja dengan baik. Kita semua menginginkan jaminan keselamatan agar dapat memikirkan dan mempertimbangkan penyebab dan pengaruhnya di dalam “laboratorium” kita yang kecil di dalam kehidupan kita ini. Kita semua menginginkan perlindungan “luar” agar dapat bergerak di “dalam” untuk menemukan makna di balik yang termanifestasi.

Doa dimulai dengan tuntutan luar. Kita menginginkan suatu suasana hati di mana “temperatur” tidak turun naik (fluctuate) terlalu tajam.

Semakin Anda puas akan kebutuhan dasar manusia, maka Anda akan semakin dapat bergerak ke arah unsur-unsur yang subtil (halus), sampai di suatu titik, di mana bahasa tidak lagi dapat mengungkapkannya, dan di sanalah terjadi keterjagaan pengenalan bahwa tidak ada lagi “dua”. Itulah pemenuhan yang terakhir. Kemudian ia mendorong untuk kembali ke kehidupan dengan kepercayaan penuh yang disebutnya sebagai diri (nafs) yang hanya merupakan keberadaan sekunder.

Kita semua adalah binatang secara biologis, namun begitu Anda dapat merasakan kenikmatan yang sejati, yang tidak lain adalah membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Jika kita tidak melakukan hal itu, maka kita akan menjadi galian lubang yang hanya akan memunculkan rasa tidak damai di dalam hati kita.

Jika benar kedamaian hati bukan sifat alami kita yang nyata, mengapa kita mencari-carinya? Jika kebahagiaan bukan realitas kita, mengapa kita mendambakannya?

Jika kedamaian bukan sifat alami kita yang nyata, kenapa kita mencarinya?

Jika hubungan timbal balik dan pengetahuan hubungan timbal balik dari segalanya tidak siap ditanamkan di dalam tingkatan sub-genetik kita, kenapa kita berusaha untuk memahami ciptaan yang besar maupun yang kecil?

Ini semua sudah inherent (menjadi bawaan lahir) dalam diri kita dan tidak bisa dipisahkan. Semua mesti begitu, jika tidak, kita tidak akan “menyatu” (unify) dengan mereka.

Seseorang yang mencari Allah, sebenarnya sedang memenuhi tuntutan alaminya. Ia mengatakan,”Aku ingin situasi yang lebih baik sedemikian sehingga aku dapat merenungkan dan menemukan.” Tetapi seringkali ia berhenti di situ. Sekali waktu rumah (yang didambakan) itu diperoleh, itu menjadi obyek pemujaan. Anda sering menemukan bahwa manusia itu bebas sebelum ia memperoleh kepemilikan tetapi sekali waktu mereka mempunyai sepotong dunia yang mereka tergoda olehnya.

Warisan Islam yang diajarkan oleh Imam Ja’far as bisa kita temukan pada doa, karena ia mempersatukan kita di dalam keinginan untuk meningkatkan sumber kita yang menyebabkan kita melakukan tindakan. Doa menyebabkan peningkatan motivasi-motivasi dasar kita. Doa juga mengangkat kita lebih tinggi dan semakin tinggi. Seseorang yang mengenali batasan-batasan yang ‘dipaksakan’ secara inheren di dalam berbagai sistem.

Suatu waktu batasan-batasan itu dapat dikenali, di mana tidak ada lagi kekecewaan. Hanya ada satu janji bagi kita untuk bisa bertahan hidup lebih dari satu jangka waktu tertentu. Itu semua bergantung kepada kita untuk memenuhi janji kita. Hal ini merupakan wawancara ke dalam di mana kita harus masuk, meninggalkan berbagai hal yang kita ciptakan dan kita anggap penting. Mereka membedakan seseorang dengan orang lain dan dari hari ke hari.

Manusia terperangkap dalam perubahan waktu yang terus menerus, padahal dia berakar di nirwaktu; Itulah sebabnya kita senantiasa membayangkan sebuah cinta yang abadi namun dengan cara yang salah. Kita mencari makanan yang dapat membuat hidup kita lebih panjang, bukan mencari tahu penyebab sesungguhnya dan sumber kehidupan yang berada di luar waktu (beyond time).

Inilah yang sebenarnya dimohonkan (oleh manusia). Inilah yang membantu doa menjadi kenyataan, yang secara rutin, seorang buruh tani memperoleh alat cangkul yang lebih baik, sebidang tanah, atau bahkan seorang isteri. Hal ini juga membantu orang yang lebih dalam inteleknya untuk mencari makna di balik yang ‘tak bermakna’.

Itulah yang disebut “shirat al-mustaqim.” Inilah yang merupakan sebuah garis, yang jika kita lihat dari titik permulaan, menjadi sejumlah titik-titik tanpa batas yang berlapis-lapis di atas titik-titik lainnya tetapi terjadi dari satu titik, dan satu titik itulah Sang Realitas!. Itulah satu titik yang tiada lagi titik di baliknya. Dan titik itulah manusia. Ia merupakan suatu tanda bukti tentangnya. Ia berisi makna tentang penyebab keberadaannya dan pengaruhnya.

Allah, subhana wa ta’ala berfirman,”Langit dan bumi tak mampu “memenuhi”-Ku, tetapi hati seorang beriman dapat “memenuhi”-Ku.”

Dia juga berfirman dalam Hadits Qudsi lainnya: “Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin dikenal, karena itulah Aku mencipta”. Itulah proses bagaimana dualitas terjadi. Kesadaran diri dari keduanya pun dimulai dan berakhir dengan peleburan ke dalam Yang Satu.

Laa hawla wa laa quwwata illa billah

___________________________________________________________________________

Sumber : Discourse on Du’a by Shaykh Fadhlallah Haeri

Catatan kaki

*] Al-Qur’an Surah Maryam ayat 25

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Apa Yang Kita Cari didalam Do’a-Do’a Kita?

Ada banyak faktor yang menyebabkan manusia terhalang dari kebenaran. Umumnya, faktor internal-lah yang lebih dominan mempengaruhi manusia ketimbang faktor eksternal. Semua faktor-faktor penghalang itu saya ringkas menjadi 10.

1. MENGANDALKAN PERSANGKAAN DARIPADA PENGETAHUAN DAN KEPASTIAN

Sebagian besar manusia di dunia ini menganut ajaran agamanya berdasarkan perolehan dari orangtuanya, lingkungannya dan guru-guru di sekolahnya. Mereka menerima agama yang mereka anut seperti sebuah warisan turun menurun, dari ayahnya, dari kakeknya dan seterusnya. Warisan keagamaan ini pun diperkuat dengan lingkungan yang homogen, seperti kita yang tinggal di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentulah memiliki lingkungan yang lebih banyak menganut agama Islam ketimbang agama yang lain. Atau di Amerika Serikat yang penduduknya mayoritas beragama Kristen tentulah memiliki lingkungan yang lebih banyak beragama Kristen ketimbang yang lain. Sehingga ajaran-ajaran yang disampaikan oleh guru-guru mereka di sekolah pun jelas-jelas semakin memperkuat kepercayaan yang sudah ada itu. Namun begitu tidak sedikit orang yang mempertanyakan kebenaran agama atau keyakinan yang selama ini mereka anut. Cukup banyak warga AS yang beralih menganut agama Islam setelah merasa tidak puas dengan agama yang mereka anut. Mereka menemukan banyak kejanggalan dan hal-hal yang bertentangan dengan nalar dan rasio mereka di dalam agama yang mereka anut selama ini sehingga mereka mencoba menyelidiki agama-agama lainnya sebagai agama alternatif yang ingin mereka jadikan sebagai keyakinan dan jalan hidup mereka.

Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah orang-orang seperti ini jauh lebih sedikit ketimbang orang-orang yang hanya pasrah (taqlid buta) menerima keyakinan yang telah diperolehnya dari orangtua dan nenek moyang mereka.

Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Quran Surah Al-Maidah [5] ayat 104)

Kebanyakan manusia lebih mengandalkan persangkaan ketimbang pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan. Tidak sedikit orang yang enggan menerima hujjah atau argumen yang secara umum sebenarnya sudah disepakati bersama. Namun dengan cara yang aneh dan ganjil orang-orang tersebut tidak menerima argumen yang diajukan dan tetap bertahan pada persangkaan dan asumsinya semula, sehingga orang-orang seperti ini terjauhkan dari kebenaran.

Dan kebanyakan mereka (aktsarahum) tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus [10] ayat 36)

2. MENGIKUTI HASRAT HAWA NAFSU DAN BIAS PRIBADI

Kebanyakan manusia juga cenderung bersikukuh dengan pendapat dan keyakinannya hanya lantaran mengikuti hawa nafsu dan bias pribadi saja. Misalnya, jika disodorkan sebuah argumen atau dalil yang jelas dan kuat, maka secara spontan dia langsung menolaknya tanpa mau menyimak apalagi meneliti dalil tersebut karena rasa gengsi atau adanya prasangka buruk terhadap bentuk keyakinan yang disodorkan kepadanya. Padahal, seharusnya ia terus menerus memelihara sikap tidak memihak ketika memikirkan sesuatu, yakni mesti mencoba secara sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran semata-mata dan mengakui bukti-bukti yang otentik. Hal ini juga bisa dicomtohkan dengan seorang hakim ketika ia menyelidiki suatu kasus; ia tidak boleh memihak kepada pihak mana pun yang terlibat dalam perselisihan. Jika sedikit saja hakim memiliki bias dan kecondongan pribadi kepada salah satu pihak maka secara tidak sadar mau pun sadar, ia akan tertarik kepada bukti-bukti yang menguatkan pihak yang ia bias kepadanya dan ia menjadi tidak lagi mampu melihat bukti-bukti pihak yang lainnya, dan hal inilah yang membuat keputusan hakim menjadi keliru dan tidak adil. Hawa nafsu telah mempengaruhi pikirannya sehingga ketika ia mengambil keputusan pun pastilah didasarkan oleh selera bukan lagi dengan logika yang jernih. Hawa nafsu yang telah menguasai hati lambat-laun membuat hati menjadi terbutakan. Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar, yang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi baik.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 135)

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.” (QS Al-Najm [53]:23)

3. MENGIKUTI KEBANYAKAN MANUSIA.

Masih banyak sekali orang yang menjadikan jumlah atau kuantitas sebagai tolok ukur kebenaran. Pada masa sekarang ini pemikiran demokrasi yang berdasarkan perhitungan mayoritas telah menjadi anutan masyarakat manusia termasuk Indonesia. Bagaimana pun demokrasi yang tidak dipimpin oleh kepemimpinan yang bersih dan penuh ketaqwaan hanya akan menghasilkan penyimpangan demi penyimpangan. Inilah yang terjadi di negeri kita. Coba siapa yang bisa menegur anggota DPR atau MPR jika mereka melakukan kesalahan? Lembaga ini sudah menjadi lembaga tertinggi di Indonesia, jadi tidak seorang pun yang bisa menegur mereka. Hal seperti ini pula yang menjadi batu sandungan manusia untuk mencapai kebenaran. Karena jika kita mengambil suara terbanyak dari sekelompok masyarakat, maka suara yang terbanyak dari mereka adalah suara orang-orang yang bodoh ketimbang orang-orang yang pandai. Kita semua tahu bahwa orang yang pandai jauh lebih sedikit ketimbang orang yang bodoh. Akibatnya suara orang-orang yang bodohlah yang menjadi ukuran kebenaran. Inilah demokrasi Barat yang sedang diterapkan pada bangsa kita! Contoh lainnya adalah jika kita menghitung jumlah penganut agama terbanyak di dunia ini pastilah agama Kristen; lalu apakah kita bisa menyimpulkan bahwa agama inilah yang merupakan agama yang benar, karena penganutnya merupakan mayoritas penduduk dunia? Naif sekali bukan? “Dan jika kamu menuruti kebanyakan (aktsar) orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah”

(Al-Quran Surah al_An’am [6] ayat 116)

4. PEMUJAAN TERHADAP HERO ATAU IDOLA

Betapa banyak orang yang terbutakan dari kebenaran dikarenakan pemujaan mereka terhadap idola atau pahlawannya. Di dalam catatan sejarah Islam misalnya, ketika Imam Ali as dan pengikutnya berhadapan untuk bertempur melawan Thalhah, Zubair dan Ummul Mukminin Aisyah, beberapa pengikut Imam Ali as terlihat gelisah, sehingga salah seorang di antara mereka bertanya kepada Imam Ali as, “Wahai Amirul Mu’minin, mungkinkah Thalhah, Zubair, serta Aisyah bergabung dalam kesesatan? Bagaimana mungkin pribadi-pribadi besar ini, yang merupakan para sahabat Nabi dan isteri Nabi dapat bergabung (bersepakat) dalam kesesatan?”

Dengan lugas dan mantap Imam Ali as berkata kepada sahabatnya yang berada dalam keraguan itu, “Engkau telah tertipu! Kebenaran telah menjadi kekeliruan bagimu. Ketahuilah, kebenaran dan kebatilan tidak bisa diketahui dengan menjadikan kekuatan dan pribadi-pribadi individu sebagai tolok ukurnya. Tidak benar apabila mula-mula engkau menakar pribadi-pribadi lalu kemudian menimbang kebenaran dan kebatilan menurut ukuran ini. Tidak! Individu atau pribadi-pribadi tidak boleh dijadikan tolok ukur kebenaran dan kepalsuan. Kebenaran dan kebatilanlah yang menjadi tolok ukur bagi para individu dan pribadi-ribadi!” (Murtadha Muthahhari, Ali Bin Abi Thalib Di hadapan Kawan Dan Lawan, hal. 70-­71)

Seseorang yang sedemikian memuja-muja seorang tokoh kemerdekaan misalnya, tidak rela jika tokohnya tersebut dikritik, padahal sang tokoh bukanlah seseorang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Sampai-sampai ada yang sedemikian fanatik terhadap tokoh tersebut menjadikan seluruh kata-kata dan tindakan sang tokoh sebagai tolok-ukur kebenaran.

Pertama-tama kenalilah kebenaran terlebih dahulu, baru setelah itu Anda bisa menilai si A atau si B melakukan tindakan yang benar atau salah berdasarkan tolok-ukur kebenaran yang telah Anda pahami sebelumnya.

Dan mereka berkata : “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-­pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)” (Al-Quran Surah Al-Ahzab [33] ayat 67)

5. PENGETAHUAN ATAU INFORMASI YANG TIDAK LENGKAP

Pengetahuan atau data informasi yang tidak lengkap mengakibatkan kebenaran menjadi tidak lagi utuh. Saya akan memberikan sebuah contoh yang cukup relevan. Sudah banyak orang yang mengetahui hadits yang redaksinya : “Sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Hadits Riwayat Hakim dan Malik di dalam al-Muwatha-nya)

Saya tidak mengabaikan hadits di atas ini namun mengapa banyak ulama yang entah sengaja atau tidak sengaja tidak menyampaikan hadits lainnya yang hampir serupa, padahal hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, perawi yang sangat populer di kalangan Ahlus Sunnah seperti di Indonesia, yang hadis ini diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, katanya : “Rasulullah Saw berdiri dan berkhutbah di hadapan kami dekat suatu sumur air yang dinamakan Khum, antara Makkah dan Madinah. Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah, memberikan pelajaran dan peringatan. Kemudian beliau mengucapkan : “Adapun kemudian dari itu ketahuilah, hai orang banyak, sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang sudah dekat datang Utusan Tuhanku (Malaikat Maut) dan nanti akan kuperkenankan. Aku meninggalkan untuk kamu dua yang berharga (Al-Tsaqalayn) yang pertama : Kitab Allah yang di dalamnya bimbingan dan cahaya terang. Sebab itu ambillah Kitab Allah dan berpegang teguhlah kepadanya! Beliau menganjurkan agar berpegang teguh dengan Kitab Allah dan menumbuhkan keinginan (untuk mengamalkannya). Kemudian beliau bersabda : “(Dan yang kedua) Ahlul Bait-ku, aku ingatkan kalian tentang Ahlul Bait-ku ini, aku ingatkan kalian tentang Ahlul Bait-ku ini! (Shahih Muslim, Kitab Fadhail al-Shahabah, hadits no. 5920). 1] Aneh bukan? Hadits ini jarang dikumandangkan di dalam dakwah-dakwah mereka. Padahal jika kita lihat kebiasaan kaum Muslim pada umumnya, mereka lebih mengutamakan hadits Bukhari dan Muslim, ketimbang hadits lainnya, tapi di dalam hal ini mengapa mereka mengabaikannya?

Itulah sebabnya perlu penelitian dan kelengkapan informasi agar kebenaran dapat kita terima seutuhnya, tidak sepenggal-sepenggal.

Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna (lengkap) padahal belum datang kepada mereka penjelasannya” (QS Yunus [10] ayat 39)

6. MENGIKUTI TRADISI DAN TEROBSESI MASA LAMPAU

Tradisi cenderung dijadikan sebuah petunjuk yang memandu alam bawah sadar kebanyakan manusia. Hal ini karena sebuah tradisi ditanamkan secara sistematis dan terus-menerus ke dalam pikiran kita. Pada masa Bani Umayyah, sebuah dogma sesat telah ditanamkan Mu’awiyyah kepada umat Islam. Setiap khutbah Jumat, para khatib Jum’at diwajibkan untuk MENGUTUK SAYYIDINA ALI BIN ABI THALIB. Siapa pun yang menolak perintah ini ia akan dihukum mati. Dan sahabat Nabi, Hujur bin ‘Adi, menjadi martir pertama karena menolak dan menentang perintah pengutukan itu. Dan banyak lagi sahabat setia Imam Ali as yang dihukum mati karena menolak mengutuk kekasih Nabi, Ali bin Abi Thalib. Kebencian yang ditanamkan terhadap pribadi mulia ini sedemikian sistematis sehingga tak seorang pun berani menamakan anak mereka dengan nama-nama Ahlul Bait seperti: Ali, Hasan, atau pun Husayn. Tradisi ini terus berlanjut sampai-sampai tak seorang pun di Siria (Damaskus) yang mengenal siapa itu Ahlul Bait Nabi. Setelah masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, tradisi pengutukan ini dihentikan. Dengan kebijakan dan keberaniannya, Umar bin Abdul Azis menghapus tradisi pengutukan ini. Namun karena itu pula Umar bin Abdul Azis dibunuh oleh keluarga terdekatnya sendiri. Dia hanya berkuasa tidak sampai 2 tahun. (Baca : KH. Firdaus AN, Umar bin Abdul Azis)

Kebanyakan manusia menerima suatu keyakinan dari generasi ke generasi tanpa mempertimbangkannya dengan akal sehat dan pemikiran yang kritis. Mereka cenderung menerima keyakinan tersebut tanpa mau menyelidiki kebenaran doktrin atau ajaran yang mereka terima secara turun temurun ini. Kepercayaan-kepercayaan dan gagasan dari para leluhur dan orang tua mereka terima tanpa pertimbangan akal dan pikiran yang sehat.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan, atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?” (QS 23 :68)

7. KETERGESA-GESAAN

Membuat penilaian dan komentar membutuhkan sejumlah bukti. Namun pada saat terdesak ataupun terjepit padahal bukti belum lagi mencukupi, sebagian besar manusia sering mengambil keputusan secara tergesa-gesa yang mengakibatkan timbulnya kesalahan fatal. Bagaimana pun ketergesa-gesaan adalah salah satu penyebab timbulnya ketidak cermatan dan ketidak telitian.

Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat. Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu.” (QS 37 : 69-70)

8. KEBENCIAN ATAUPUN KECINTAAN YANG BERLEBIHAN ATAU FANATIK BUTA

Kebencian maupun kecintaan yang berlebihan dapat mengakibatkan

Rasulullah saw bersabda, “Cintamu kepada sesuatu membutakan dan menulikanmu.” (Bihar al-Anwar 77: 164)

Kecintaan atau pun kebencian yang tak berdasar dapat membutakan mata hati kita. Perasaan cinta atau benci yang tidak diimbangi dengan pemikiran yang rasional dapat menimbulkan apa yang disebut fanatik buta!

Di dalam sejarah Islam, kelompok Khawarij termasuk orang-orang seperti ini. Jika Anda yang hanya melihat simbol-simbol seperti: tanda hitam di kening, atau wajah yang terlihat sayu karena banyak shalat malam dan puasa di siang hari, misalnya, Anda pasti akan terkecoh dan kagum terhadap tampilan luar kaum Khawarij. Walaupun secara ritual mereka adalah orang-orang yang tampak shalih, tetapi pola berpikir mereka tidaklah sesuai dengan ajara-ajaran Nabi Saw. Mereka bahkan secara terang-terangan mengkafirkan Imam Ali as dan dengan sadar melakukan pembunuhan terhadap beliau. Cara berpikir mereka sangatlah dangkal, cenderung mengkafirkan semua orang, membunuh dan menteror banyak kaum Muslim pada masa kekhalifahan Imam Ali. Mereka menganggap hanya pemahaman mereka sajalah yang benar. Seorang Imam Ali as tidak sedikit pun tertipu dan terkecoh dengan tampilan luar mereka yang seolah shalih. Ucapan-ucapan mereka bisa membuktikan bahwa mereka hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti sedikit pun, bahkan sesungguhnya fanatisme buta mereka justru menunjukkan keraguan mereka belaka. Imam Ali as menyindir kaum Khawarij yang sedemikian rajin shalat malam saat itu dengan mengatakan, ”Tidur dengan keyakinan itu lebih baik daripada shalat dengan keraguan” (Syarah Nahjul Balaghah Ibn Abil Hadid 18 : 253)

Robertson Davies mengatakan, “Fanaticism is overcompensation for doubt.” – Fanatisme merupakan kompensasi berlebihan karena keraguan.

Sejarah telah mencatat kerusakkan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang fanatik. Lihatlah apa yang terjadi di Irak. Kebodohan dan kebencian Al-Qaeda terhadap kaum Muslim Syi’ah membuat mereka rela melakukan BOM BUNUH DIRI sambil membantai ribuan kaum Muslim yang tak berdosa. Sejumlah aliran dana yang sangat besar telah disalurkan kepada kelompok bodoh dan gila ini demi menjaga keutuhan beberapa Imperium di Timur Tengah.

Louis Kronenberger juga mengatakan, “In the history of mankind, fanaticism has caused more harm than vice” – Di dalam sejarah manusia, fanatisme lebih mengakibatkan kerusakan (penganiayaan) ketimbang (sekadar) keburukan. Ketika orang-orang Zionis Israel membantai ribuan kaum Muslim di Palestina, kelompok dungu, Al-Qaeda ini pun dengan senang hati melakukan hal yang sama terhadap kaum Muslim di Irak. Apa yang membedakan mereka berdua? Tidak ada! Mereka sama saja, mereka berdua adalah anak-anak Setan Besar Amerika Serikat.

9. KESOMBONGAN, MERASA SUDAH CUKUP SEMPURNA DAN KETIDAKJUJURAN TERHADAP DIRI SENDIRI

Kesombongan dan kebenaran bak minyak dan air, keduanya takkan pernah dapat bersatu selamanya. Orang-orang yang sombong takkan pernah dapat melihat kebenaran walau pun bukti-bukti dan argumen yang dipaparkan sudah tak dapat dipungkiri lagi. Bahkan jika mereka bisa melihat pun, kesombongan merekalah yang menahan mereka untuk menerima kebenaran.

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan

padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya”

(Al-Quran Surah al-Naml [27] : 14)

Itulah yang terjadi pada Fir’aun dan pengikutnya. Mereka mengetahui bahwa apa yang dibawa Musa dan Harun as adalah kebenaran yang nyata. Namun kezaliman dan kesombongan telah membuat mereka enggan menerimanya. Ada perasaan gengsi atau “malu” untuk menerima kebenaran sebagaimana adanya. Mereka khawatir bahwa jika mereka menerima kebenaran tersebut, maka martabat dan harga diri mereka bisa jatuh.

Diriwayatkan bahwa suatu malam, dua pemuka Quraisy: Abu Jahal dan Walid bin Mughirah melakukan tawaf sambil ngobrol membicarakan Muhammad Saw.

Abu Jahal : Demi Tuhan! Muhammad itu seorang jujur dan benar!

Walid : Hei darimana kau tahu!

Abu Jahal : Kita semua tahu, dari masa kanak-kanak sampai

remaja, kita mengenalnya sebagai seorang yang jujur

dan terpercaya. Lantas bagaimana mungkin setelah dia

dewasa dan akalnya sempurna, tiba-tiba dia menjadi

seorang pendusta dan pengkhianat?”

Walid : Lalu kenapa engkau tidak membenarkan dan beriman

kepadanya?

Abu Jahal : Apakah engkau ingin wanita-wanita Quraisy berkata :

Wah Abu Jahal telah tunduk dan menyerah kepada

Muhammad karena takut kalah? Demi Latta dan Uzza,

aku takkan mengikutinya! 2]

Sebagian orang lagi merasa sudah “pintar” atau sudah cukup merasa puas dengan pengetahuan atau informasi yang dimilikinya, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi melakukan review atas keyakinan yang mereka anut selama ini. Mereka juga mengabaikan kata hati nurani mereka. Inilah yang kita namakan KETIDAKJUJURAN TERHADAP DIRI SENDIRI. Kesombongan telah mencegah mereka untuk berlaku jujur terhadap diri mereka sendiri.

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup” (QS 96: 6-7)

10. KECINTAAN KEPADA DUNIA

Kecintaan kepada harta, wanita, serta kedudukkan duniawi sering membuat seseorang berpaling dari kebenaran. Kecintaan yang berlebihan kepada dunia dapat membuat mata hati kita menjadi buta, spiritualitas kita padam, tanpa disadari kita telah mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Kita sudah mengetahui bahwa salah satu sebab kehancuran negeri ini disebabkan karena tindakan para pengkhianat bangsa, yaitu orang-orang yang mengkhianati bangsanya, saudaranya bahkan agama mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme benar-benar disebabkan oleh kecintaan mereka kepada dunia yang sudah sedemikian kuat. Kecintaan kepada dunialah yang menyebabkan mereka mengabaikan semua makna keabadian, keindahan dan cinta yang murni. Orang-orang yang cinta kepada dunia beranggapan bahwa mereka bisa hidup abadi dengan “dunia” yang mereka cintai itu.

Imam Ali as berkata, ”Barangsiapa yang sedang merindukan sesuatu niscaya pandangannya menjadi rabun, dan hatinya menjadi sakit, karena ia melihat dengan pandangan yang tidak benar dan mendengar bukan dengan pendengaran yang sebenarnya. Karena sesungguhnya syahwat telah membingungkan akalnya, dan dunia telah mematikan hatinya, dan cinta telah menjadikan dirinya bingung dan susah, karena ia telah menjadi budak baginya” 3]

Mereka bahkan bertindak lebih jauh, berusaha menghalangi orang lain yang ingin menghampiri kebenaran. Mereka menipu manusia, membuat kebenaran-kebenaran semu demi mengelabui banyak orang.

Dan kecelakaan bagi orang-orang yang ingkar karena siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang lebih mencintai kehidupam dunia dari kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan jalan Allah itu bengkok.” (QS Ibrahim [14]: 2-3)

Laa hawal wa laa quwwata illa billah.

Catatan Kaki

1. Hadits Al-Tsaqalayn bukan saja shahih, bahkan sudah sampai ke tingkat mutawatir.

2. Ali Sadaqat, 50 Kisah Teladan, hlm. 138, Penerbit Qarina, 2005

* Sebagian besar sumber tulisan ini merujuk kepada tulisan Al-Syahid Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Penerbit Mizan.

3. Muhammad Ridha al-Hakimi, Al-Hayah Jil. 1, hlm. 156, hadits no. 3; Nahjul Balaghah Syarah Muhammad Abduh 1 : 229,

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : 10 Penghalang Manusia dari Kebenaran

keadilan.jpg

Satrio Pinandito Motinggo

There are seven sins in the world: Wealth without work,
Pleasure without conscience, Knowledge without character,
Commerce without morality, Science without humanity,
Worship without sacrifice and Politics without principle.

~ Mahatma Gandhi

Ada tujuh dosa di dunia ini, kata Mahatma Gandhi :
1. Kekayaan tanpa kerja

2. Bersenang-senang tanpa sadar

3. Pengetahuan tanpa karakter

4. Perdagangan tanpa moralitas

5. Sains tanpa kemanusiaan

6. Ibadah tanpa pengorbanan dan

7. Politik tanpa dasar yang kuat.

Kami tidak bermaksud ingin membahas ke tujuh dosa yang disebutkan oleh Penyeru Anti Kekerasan ini satu per satu. Tetapi kami hanya ingin menekankan bahwa di dalam setiap aspek kehidupan manusia, agama apa pun menekankan pentingnya moral untuk dijadikan basis di dalamnya.

Karena agama berbeda-beda, maka prinsip-prinsip moral yang diajarkan pun berbeda-beda, namun pada saat yang sama hanya ada satu manusia, dan semua prinsip moral tersebut didasarkan pada prinsip lainnya yang menjadi dasar seluruh prinsip moral yang ada, yaitu keadilan. Dan ini bukan berarti keadilan pada prinsip atau asas dan pada peraturan serta undang-undang, tetapi bahwa hukum relijius itu satu dan benar, yaitu yang membangunkan kesadaran manusia.

Karena jiwa manusia tersingkap sendiri, hukum ini semakin jelas baginya; apa yang adil dan yang tidak adil. Yang menarik tentang hal ini adalah mengenai seorang pencuri atau seorang yang tidak baik yang berbuat zalim kepada orang lain. Tetapi jika orang lain berbuat zalim atau tidak adil terhadapnya, niscaya ia akan berkata, ‘Dia telah berlaku tidak adil padaku.’

Hal ini menunjukkan bahwa ia pun mengenal keadilan. Bila ia sedang berurusan dengan orang lain, ia melupakannya, tetapi jika hal itu menimpa dirinya, ia pun menjadi sangat mengenal keadilan. Kita semua bertanggung jawab terhadap diri kita sesuai dengan hukum agama tersebut. Jika kita tidak memperhatikannya, maka secara alamiah berakibat menjadi tidak bahagia.

Segala kesalahan maka hanya ada satu alasan : yaitu kita tidak mau mendengarkan diri kita sendiri. Oleh karena itu prinsip keadilan ini teramat penting sampai-sampai Allah SwT meletakkannya setelah prinsip Keesaan Tuhan. Di dalam al-Qur’an, Allah SwT berfirman,”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan!” [al-Qur’an Surat Ali Imran (3) ayat 18] atau ayat lainnya, Dia memerintahkan orang-orang yang beriman,”Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar penegak keadilan!” [al-Qur’an Surat An-Nisa (4) ayat 135]

Plato sendiri konon pernah mengatakan, ”Pengetahuan tanpa ruh keadilan lebih pantas disebut sebagai kelicikan ketimbang kearifan” (Wisdom of Ages)

Albert Pike juga mengatakan, ”Kejahatan moral (moral evil) merupakan kebohongan dalam perbuatan sebagaimana kebohongan merupakan kejahatan dalam kata-kata. Ketidakadilan merupakan esensi dari kebohongan. Karena setiap kebohongan adalah ketidakadilan. Ketidak adilan atau kezaliman adalah kematian bagi keberadaan moral, sebagaimana kebohongan merupakan racun bagi intelijensia

Bagaimana pun, keadilan merupakan dasar dari seluruh moralitas agama. Hanya agama-agama palsu saja yang mengabaikan pentingnya penegakan keadilan.

Namun sayangnya, akhir-akhir ini, masih banyak orang yang menjadikan keadilan hanya sebagai propaganda atau sekadar slogan-slogan kosong tanpa aksi dan tanpa dasar ketulusan, sehingga semua itu berujung pada kebohongan pula.

Oleh karena itu Horace mengatakan, ”Kesetiaan (kepada kebenaran) adalah saudara perempuan keadilan!” Mungkin yang dimaksud kesetiaan oleh Horace di sini adalah kejujuran terhadap diri sendiri, sehingga hanya orang-orang yang jujur terhadap diri mereka sendirilah yang bisa menegakkan keadilan dengan sebenar-benarnya.

Hamid Algar, di dalam bukunya: Islam and Revolution, A Warning to the Nation, menyebutkan bahwa Imam Khomeini (qs), pemimpin spiritual Islam dari Iran pernah mengatakan, ”Apakah Anda tahu apa itu keadilan? Jika Anda tidak tahu, tanyakan pada akal Anda, karena tindakan yang didasarkan akal itu seumpama mata bagi seseorang”

Catatan
* Mohandas Karamchand Gandhi, 1869-1948, pemimpin nasional India, yang membentuk negerinya dengan revolusi anti kekerasan.
** Episcopal bishop, James Albert Pike, 1809-1891, bekerja dengan pendiri the Disciples of Christ dan tercatat di media Arthur A. Ford.
*** Horace, seorang penyair dan satiris Romawi yang karya-karyanya menjadi masterpieces dalam sastra Latin Golden Age. Dia dilahirkan di Quintus Horatius Flaccus.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Keadilan Sebagai Dasar Prinsip Moral

ilpleut1.jpg

Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
” *)

Informasi adalah hal penting, namun yang lebih penting lagi adalah ketelitian di dalam memeriksa informasi apa pun yang datang kepada kita. Pada abad informasi ini, ketelitian menjadi salah satu prasyarat keabsahan suatu informasi. Sayangnya umat Islam sering mengabaikan faktor pemeriksaan yang teliti.
“One must exercise proper deliberation, plan carefully before making a move.” 1]Seseorang harus mengadakan pertimbangan yang tepat, merencanakan dengan hati-hati sebelum membuat satu langkah.

Walau hanya satu langkah saja, namun salah, Anda bisa terperosok ke jurag kehancuran. Apalagi jika langkah itu berhubungan dengan sebuah ikatan persahabtan, persuadaraan atau silaturrahim yang selama ini suadh terjalin indah.
Semuanya bisa menjadi rusak dan hancur akibat hanya satu langkah, satu kata atau satu sikap yang tidak diperhitungkan dengan matang.

Al-Quran dengan sangat bijak telah mengajarkan umat Islam untuk bersikap hati-hati, teliti dan penuh pertimbagan. Ayatullah Ja’far Subhani (semoga Allah senantiasa merahmatinya) mengomentari ayat tersebut : “Membuat rumor (kabar angin) atau dusta atas orag lain merupakan salah satu dosa besar yang dapat terjadi di dalam suatu masyarakat dan kadang-kadang dapat mengancam nyawa orang lain atau suatu masyarakat. Tindakan ini juga dapat merusak kehormatan dan martabat seseorang sehingga dapat melumpuhkan hidup seseorang atau pun suatu masyarakat. Betapa sering informasi yang tidak berdasar dapat menyulut suatu peperangan antar dua masyarkat (negara) yang mengakibatkan kerugian besar dan derita tak terkita bagi kedua belah pihak.2]

Untuk menghindari kejadian seperti ini terjadi, Islam telah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak menggubris walau satu potong pun berita atau informasi dari orang-orang yang berpikiran kotor, busuk dan tak bermoral. Orang-orang seperti ini banyak beredar di sekitar kita. Betapa sering kita temui orang-orang yang berpakaian bagus dan bermulut manis, tetapi hati mereka sekotor sampah dan sebusuk bangkai.

Ja’far Subhani menambahkan, “Di dalam beberapa isu penting yang berkaitan dengan agama dan suatu masyarakat di mana kehormatan dan martabatnya dipertaruhkan, kita telah diperintahkan untuk tidak mengambil saksi hanya dari SATU ORANG YANG ADIL DAN TERPERCAYA, sampai kita mendapatkan 3 ORANG lainnya yang juga ADIL DAN BERTAQWA untuk mendukung kesaksian orang pertama, baru kemudian kita dibolehkan menerima informasi tersebut. Jadi, kita mesti bisa memastikan bahwa pernyataan 3 orang tadi tepat sesuai dengan pernyataan orang pertama. Jika suatu kasus tidak sedemikian penting seperti kasus di atas, kita diperintahkan untuk memastikan bahwa informasi yang didapat paling tidak dari 2 orang yang adil (adil menurut pandangan Islam).” 3]

Islam juga menetapkan beberapa syarat atas orang yang menjadi saksi. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka kesaksian (informasi) orang tersebut dianggap tidak bernilai dan tidak berharga. Beberapa syarat tersebut termasuk :
1. Pemberi saksi (informasi) mesti memiliki penglihatan (mata) yang baik dan mesti memiliki ketelitian, atentif, ketaatan kesadaran beragama, juga visi yang baik serta ingatan yang kuat, artinya dia tidak boleh menambah-nambahi informasi atau mengurangi (lupa) tentang apa yang dia informasikan.
2. Dengan syarat-syarat di atas itu seseorang bisa membedakan dengan pancainderanya, di mana salah satu atau lebih dari pancainderanya telah menyimpan informasi tersebut. Jadi, tidak dibenarkan seorang saksi (pemberi informasi) membuat kesaksiannya atas dasar : perkiraan atau estimasi, dugaan atau asumsi. Seperti yang dikatakan oleh Imam as :

“Syarat sebuah kesaksian adalah : harus seperti matahari – terang dan jelas. Jika tidak seperti ini, maka Anda tidak boleh menyebarkan satu informasi pun!
3. Orang yang menjadi saksi (yang memberikan informasi) tanpa dasar dan tanpa mengkonfirmasikan informasi tersebut, harus ditolak dan orang seperti ini harus diajukan ke pengadilan karena telah memebrikan kesaksian (informasi) palsu dan di lain waktu, orang ini tidak boleh lagi diambil kesaksiannya. (al-Khilaf, page 235) 4]

Syarat-syarat seperti ini harus ada sehingga seseorang atau suatu masyarakat tertentu tidak menjadi korban kejahatan atau kedengkian seseorang atau pihak tertentu yang ingin memanfaatkan orang-orang yang berpikiran lemah dan mudah dihasut.

Sesungguhnya dengki itu memakan iman
sebagaimana api memakan kayu bakar.

~ Imam al-Baqir as 5]


Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Catatan Kaki :

*) QS Al-Hujurat [49] ayat 6

1. I Ching. Juga disebut Yi Jing atau Book of Changes, buku Cina Kuno, salah satu ajaran Konfu Cu kalsik (the classics of Confucianism), yang secara tradisi digunakan sebagai ajaran-ajaran moral, filsafat, dan kosmologi.
2. Ayatullah Ja’far Subhani, The Islamic Moral System : Commentary of Surah al-Hujurat, page 81, Islamis Humanitarian Service, Ontario Canada.
3. Ibid, page. 83.
4. Ibid.
5. Mizan al-Hikmah Jil.2 hlm. 426

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Jangan Sekali-kali Memfitnah

anger.jpg

Berkowitz menyatakan bahwa semua jenis rangsangan yang tak menyenangkan (unpleasant stimuli) menumpuk dan menggumpal, tidak hanya mengakibatkan rasa sakit atau frustrasi, bahkan memunculkan kecenderungan melakukan agresi secara mendadak (impulsively aggressive). Suatu variasi kejadian yang menakjubkan tampak meningkatkan kemarahan kita. Misalnya : bau busuk, suhu ruangan yang tinggi –panas-, asap rokok, peristiwa-peristiwa menjijikkan, interaksi tak menyenangkan dengan orang lain, ketakutan, depresi, ketidaktertarikan atau halangan-halangan dari pihak lain, ketidaknyamanan, dan melulu berpikir tentang menghukum seseorang. (Berkowitz, 1983)

Sungguhpun kognisi (kemampuan untuk memperoleh pengetahuan) dapat menghentikan suatu dorongan agresif, sebagian besar hubungan antara keadaan yang tak mengenakkan dengan agresi dapat melepaskan kesadaran kita. Kita semua pernah mengalami rasa sakit, frustrasi, dan banyak kejadian yang tidak menyenangkan, dan barangkali, sebagaimana kita menderita, kita cenderung menjadi agresif secara serampangan atau tidak pandang bulu (indiscriminately aggressive).

Walaupun demikian, kita mungkin masih bisa mengenali bagaimana kemarahan kita menjadi tidak beralasan. Kita juga bisa mengenali bahwa semua sumber ketidaksenangan itu sangat berperan dalam kemarahan kita, bahkan membentuk sebagian besar dari kejengkelan kita, dan mendorong kita untuk menghukum tanpa alasan, seperti tikus yang menyerang temannya yang tidak bersalah. (George W. Bush menyerang Irak?)

Contoh lain yang diberikan oleh Berkowitz, adalah ketika kita sedang menderita akibat depresi, kita mungkin menjadi lebih bersikap bermusuhan. Mungkin meningkatnya kesadaran kita atas ketidakrasionalan kita akan membantu mengurangi dorongan-dorongan tersebut: mengurangi kecenderungan menyalahkan orang terdekat karena penderitaan kita, dan kita juga lebih bisa mengontrol pikiran-pikiran kita dari fantasi balas dendam dan kejengkelan, tindakan-tindakan kita, dan agresi kelompok kita.

Kadang kala, kita menjadi terheran-heran ketika rasa sakit agresi menghubungkan kepada rating yang tinggi atas perceraian, pelecehan seks terhadap anak-anak, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang terus meningkat.

DINAMIKA INTERNAL DARI AGRESI
“Jika kita tidak mengetahui apa itu hidup, bagaimana kita dapat mengetahui apa itu kematian” Confucius. [Confucius (China's most famous teacher, philosopher, and political theorist, 551-479 BC]

Freud percaya bahwa naluri kematian (the death instinct) kadang-kadang mengambil alih keluar, dan kemudian kita terluka dan melukai yang lainnya dan pergi berperang (lawan dari bunuh diri), kata Rochlin (1973).

Psikoanalis lainnya percaya bahwa agresi merupakan cara kita untuk menutupi atau melindungi harga diri kita yang hilang. Memenuhi kebutuhan manusia umumnya untuk merasa kuat dan menganggap tinggi harga diri kita sendiri, apa pun yang mengancam self-esteem kita, kita anggap sebagai sebuah serangan permusuhan.

Ketika harga diri kita dilecehkan, kita sering mencoba mengembalikan status dan self esteem kita dengan melukai balik orang yang telah menyerang kita.

Toch (1969) telah menemukan bahwa 40% dari narapidana yang agresif pernah merasa “tidak aman” (insecure) dan membutuhkan beberapa “kemenangan” (victory) untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang istimewa.

Penjahat-penjahat lainnya bersegera mempertahankan “reputasi” yang mereka banggakan, yaitu sebagai penjahat berkelas (tough guy). Kami, kata Toch, (bangsa Amerika) adalah masyarakat yang percaya pada kekuatan militer, yang butuh mengetahui lebih banyak tentang ego-ego kami, yang dengan mudah menyerang dan menjadi sedemikian kejam dan bengis, memompakan ego-ego yang sakit.

Erich Fromm (1973) mendefinisikan agresi yang tidak berbahaya (benign aggression) sebagai sebuah reaksi singkat untuk melindungi diri kita sendiri dari bahaya. Kebalikannya, agresi yang berbahaya (malignant aggression) adalah semata-mata melukai orang lain demi kesenangan sadistis (the sadistic pleasure).

Fromm percaya bahwa orang-orang yang putus asa dipaksa untuk menyesuaikan diri mereka dengan aturan-aturan di masyarakat, di tempat mereka bekerja, dan dengan otoritas di mana pun mereka berada. Tidak adanya (rasa) kebebasan ini membuat keputusan-keputusan dan ketidakmampuan untuk menemukan MAKNA dan CINTA dalam hidup mereka yang menyebabkan kemarahan, dendam, kebencian dan kadang-kadang kejahatan, agresi yang sadis.

Bagaimana dan di mana rasa permusuhan ini memperlihatkan dirinya sendiri?

Beberapa orang memperoleh kesenangan dengan melukai, membunuh dan membinasakan orang-orang. Hitler mungkin merupakan salah satu contoh yang paling jelas: dia telah membunuh jutaan orang.

Dilaporkan, dia merencanakan akan menghancurkan negerinya sendiri sebelum ia menyerahkan diri. Erich Fromm melukiskan kehidupan Hitler dengan mengatakan, ”Ada seratus Hitler di antara kita yang akan datang dari waktu ke waktu jika detik-detik sejarah mereka tiba”.

Dalam kasus lainnya, ada sebuah perasaan yang didasari ketakberdayaan, yang menghasilkan suatu kebutuhan untuk bisa mengontrol penuh atas orang yang tak berdaya. Umumnya, mereka ini adalah orang-orang yang sadis dan pemerkosa.

Joseph Stalin, diktator dari Russia dari 1929 sampai 1953, sebuah contoh yang terkenal. Dia menikmati penyiksaan yang dia lakukan atas tahanan politiknya dan membunuh jutaan orang-orangnya sendiri (ketika mereka melawan kebijakan-kebijkannya); dia mengirim istri-istri ajudannya yang setia ke penjara (ajudan-ajudannya tidak – berani – memprotesnya); dia menikmati ketika ia memperdaya banyak orang dan tak bisa diduga.

Dalam bentuk yang lebih halus, chauvinistis bisa menjadi permusuhan, contohnya, seorang lelaki yang menekan istrinya dan berharap agar istrinya menuruti apa yang diinginkannya: marah, dan mengancam. Atau contoh lainnya : bos atau guru yang dikritik senang melihat bawahannya atau siswanya “jatuh” dan berkeringat dingin.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Apakah Setiap Rasa Sakit Memicu Kemarahan?

bilik-renungan_01.JPG

Di dalam kitab Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa ketika Fatimah as, putri kesayangan Nabi Saw memberikan sepotong roti kepada ayahnya, Nabi Saw bertanya kepada Fatimah, “Apa ini ya Fatimah?”

Fatimah menjawab, “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak bisa tenang sebelum saya memberikan roti ini kepada ayah.”

Nabi saw yang mulia menjawab, “Ini adalah sepotong makanan pertama yang masuk ke dalam mulut ayahmu sejak tiga hari ini!”

(Risalah Quyairi, hlm. 78)

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Makanan Pertama

berubah-dan-tumbuh.JPG

“Setiap waktu Dia dalam kesibukkan”
(Al Qur’an Surah Al-Rahman [55] ayat 29)

Di dalam dunia penciptaan, segala sesuatu senantiasa berubah, tumbuh dan berkembang, atau dengan kata lain, bahwa setiap makhluk Tuhan senantiasa berubah, baik fisik mau pun rohaninya. Tak satu maujud pun yang tetap berada dalam kondisi yang sama setelah melalui perjalanan waktu, detik demi detik bahkan sekian perdetik demi sekian perdetik!

Kita pun selalu melihat proses perubahan dan pertumbuhan tersebut di sekitar kita, akan tetapi kita justru sering tidak sadar bahwa diri kita pun sedang mengalami perubahan.

Sebuah ilustrasi filsafat yang klise mungkin berhubungan dengan ini.
Seseorang filosof bertanya kepada saya,”Siapakah Anda?”

“Saya Ito”Jawab saya. Setelah mendengar jawaban saya, sang filosof pergi meninggalkan saya begitu saja. Esoknya saya berjumpa lagi dengan sang filosof dan dia bertanya lagi kepada saya,”Siapakah Anda?”

“Saya Ito” Jawab saya sambil tersenyum.

“Apakah Ito yang sekarang sama dengan Ito yang kemarin?” Tanyanya lagi.

“Ya!” Jawab saya agak ragu.

“Jadi, Anda tidak berubah?”

“Tentu saja saya berubah!”

“Jika Anda berubah, berarti Ito yang sekarang berbeda, dong, dengan Ito yang kemarin?”

“Fisik saya memang berubah tetapi esensi saya tidak berubah!” Jawab saya sekenanya.

“Benarkah?” Tanya sang filosof sambil tersenyum lebar dan seperti biasa ia pun ngeloyor pergi meninggalkan saya.

Saya tidak bermaksud ingin berfilsafat di dalam tulisan sederhana ini, akan tetapi setidaknya ingin mengajak Anda untuk bersama-sama merenung, bahwa sejatinya, seluruh makhluk Tuhan berada dalam perubahan yang terus menerus dengan proses yang sedemikian cepat.

Sebuah contoh menarik diberikan Muhyiddin Ibn ‘Arabi kepada kita, bahwa ketika kita melihat nyala api lilin, kita beranggapan bahwa nyala api tersebut tetap dan tidak berubah, padahal sebenarnya nyala api muncul dan lenyap susul menyusul dengan proses yang sangat begitu cepat sehingga mata kita tak mampu melihat perubahan muncul-lenyap dari nyala api lilin tersebut; yang tampak oleh kita hanya sepotong api yang bergerak melenggok-lenggok tanpa mengalami perubahan yang berarti. (Lihat : Dr. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi Wahdatul Wujud Dalam Perdebatan, h. 53)

Begitu pun jika kita melihat ke sebuah dinding atau ke diri kita, apabila kita perhatikan sebidang dinding yang berada di hadapan kita dengan seksama seolah-olah ia tetap dan tidak sedang mengalami perubahan, padahal jika kita ambil sebuah mikroskop dan kita letakkan di atas dinding niscaya akan tampak oleh kita bahwa telah terjadi penggerogotan terhadap dinding oleh mikroorganisme-mikroorganisme yang jumlahnya sedemikian banyak dan sedemikian cepat.

Ini pun terjadi pada diri kita! Sekian perdetik demi sekian perdetik usia kita semakin berkurang dan tubuh kita semakin renta. Perubahan ini hanya kita sadari apabila tubuh mulai terasa cepat lelah dan lemah atau mulai sakit-sakitan. Tetapi, ketika kita masih muda, sehat dan segar, perubahan-perubahan ini tidak sedikit pun kita rasakan. Namun selang beberapa waktu, tiba-tiba saja kita tersentak dan sadar begitu kita melihat ke cermin dan terlihatlah wajah kita yang mulai tumbuh uban atau kulit kita yang sudah mulai berkerut.

DUA MACAM PERUBAHAN DAN PERTUMBUHAN
Jika fisik kita berubah, tumbuh dan berkembang secara linear menuju kepada kemusnahan dan kehancuran, maka tidak demikian yang terjadi pada jiwa dan ruhani kita. Jiwa dan ruhani kita tidak selalu berubah secara linear. Sebagian jiwa orang tumbuh menuju kepada kehancuran – bahkan lebih cepat ketimbang fisiknya – dan sebagiannya lagi tumbuh berkembang menuju kepada keindahan dan keabadian.

Jika mata fisik kita – yang sangat terbatas ini – melihat ke wajah George W Bush, misalnya, kita melihat dengan jelas fisik Presiden Amerika Serikat ini sedang berada dalam proses penuaan dan beranjak tua atau bahkan pengagumnya akan mengatakan ia sedang berada di puncak-puncak staminanya. Lalu kita langsung menoleh menatap wajah Imam Ali Khamane’i, maka kita melihat proses perubahan yang sama juga terjadi pada beliau. Hanya saja jika mata batin kita terbuka, sebenarnya ada perbedaan yang sangat tajam, dimana yang pertama sedang berada dalam proses kehancuran baik fisik mau pun jiwanya, sedangkan yang kedua justru sedang tumbuh berkembang menuju kepada keindahan dan keabadian.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu HIDUP di sisi Tuhan mereka dengan memperoleh rezki” (QS Ali Imran [3] ayat 169)

Kita juga tahu bahwa Sayyid Ali Khamene’i memperoleh julukan dari Imam Khomeini qs sebagai syahid yang hidup, karena beliau pernah mengalami percobaan pembunuhan tetapi beliau selamat walau tangan kanannya putus akibat bom yang meledak dekat dirinya.

Melihat kenyataan ini, kita menjadi tersadarkan bahwa kebanyakan dari kita hidup seperti mesin, tidak menyadari apa yang ada dalam pikiran, perasaan dan tindakan-tindakan kita, tidak peduli kalau kita tetap melakukan kesalahan yang sama, tiga kali, empat kali dan seterusnya. Itulah sebabnya mengapa kita diminta untuk berpikir, merenung, dan bercermin pada segala yang ada di sekitar kita untuk belajar dari apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan.

Sama halnya dengan seringnya kita memilih makanan dan minuman yang bergizi untuk tubuh kita, namun dalam waktu yang sama kita lalai memberi perhatian pada kebutuhan-kebutuhan, gizi-gizi bagi jiwa dan ruhani kita.

Imam Hasan as berkata, ”Aku heran pada orang yang hanya memikirkan (kebutuhan) perutnya namun tidak memikirkan (kebutuhan) akalnya. Ia berusaha menjauhkan sesuatu yang dapat membuat perutnya sakit, tetapi membiarkan sesuatu yang dapat menjerumuskannya (ke Neraka)” (Safinah al-Bihar 2:84). Manusia sedemikian peduli dengan kesehatan jasmaninya, tetapi lalai memperhatikan kesehatan ruhaninya.

Untuk berbicara
orang harus lebih dulu
mendengarkan
Maka belajarlah bicara
dengan mendengarkan

~ Rumi, Matsnawi I : 1627

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : Berubah Dan Tumbuh, Tapi Kemana?

18-hal.jpg

Allah Swt berfirman :
“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al-Maidah [5] ayat 74)

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
.”
(QS Al-Zumar [39] ayat 53)

1. BERTAUBAT
Al-Quran yang suci mengatakan :”Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3] ayat 135)

“Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Maidah [5] ayat 39)

2. BERBAKTI DAN MENDOAKAN KEDUA ORANGTUA
Al-Quran yang mulia mengatakan : “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS Al-Ahqaf [46] : 15-16)

2. MENGIKUTI PETUNJUK, DAN WASIAT RASULULLAH SAW SERTA MEMULIAKANNYA
Al-Quran yang mulia mengatakan: “Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad Saw), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3] ayat 31)

Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Hujurat [49] ayat 3)

3. INFAQ
Allah Swt berfirman : “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Taghabun [64] ayat 17)

4. BALASAN DI DUNIA
Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Apabila Allah menghendaki kebaikan atas seseorang hamba maka Allah segerakan balasannya di dunia. Sebaliknya jika Allah menghendaki keburukkan atas seorang hamba maka ditundalah balasannya sehingga ia mendapatkannya di Hari Qiyamat.” (Bihar al-Anwar 81:177)

5. SABAR ATAS UJIAN HIDUP
Al-Quran suci mengatakan : “..kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. (QS Hud [11] ayat 11)

Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya seorang mu’min itu apabila melakukan dosa maka diujilah dia dengan kefakiran maka apabila ia sabar niscaya hal itu menjadi penghapus dosanya. Atau diuji ia dengan penyakit, maka apabila ia sabar niscaya hal itu menjadi penghapus dosanya atau ia diuji dengan rasa ketakutan dari Sultan (raja) yang menuntutnya, maka hal itupun menjadi penghapus dosanya atau ia dicoba sehingga ia menemui kematiannya maka ketika ia berjumpa dengan Allah maka tidak ada lagi dosa-dosanya dan Allah memasukkannya ke dalam surga.” (Bihar al-Anwar 81 : 199)

6. MUSIBAH
Rasulullah saww bersabda, “Tidaklah menimpa musibah kepada seorang mu’min laki-laki dan perempuan atas dirinya dan hartanya serta anaknya sehingga ketika ia menjumpai Allah maka tidak ada lagi kesalahan padanya.”
(
Bihar al-Anwar 67 : 236)

7. SIKSA KUBUR DI ALAM BARZAKH
Imam Ali ar-Ridha as berkata, “[Di dalam firman-Nya : “Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.” (QS Al-Rahman [55] ayat 39)], “Sesungguhnya barangsiapa yang memiliki keyakinan yang benar lalu dia berbuat dosa dan dia tidak sempat bertaubat di dunia, maka diazablah ia di Alam Barzakh sampai ketika ia di hari Qiyamat tidak ada lagi dosanya dan tidak pula ia ditanya tentang itu” (Tafsir Nur ats-Tsaqalain 5 : 155)

8. PENYAKIT
Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sakit bagi orang mu’min merupakan penyucian (atas dosanya) dan juga rahmat. Tetapi bagi orang yang ingkar, sakit adalah ’azab dan laknat dan sesungguhnya penyakit bagi seorang mu’min adalah penghapus dosa.” (Bihar al-Anwar 81 : 183)

Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya penyakit itu membersihkan jasad dari dosa-dosa sebagaimana alat peniup pandai besi membersihkan karat dari besi.” (Bihar al-Anwar 81 : 197)

Ditanyakan kepada Amirul Mu’minin as tentang penyakit yang menimpa seorang bayi, beliau menjawab, “Itu merupakan penghapus dosa (kafarat) bagi orang tuanya.” (Bihar al-Anwar 81 : 186)

Allah Ta’ala berfirman (di dalam hadits Qudsi), “Ahli taat-Ku dalam jamuan-Ku, dan ahli syukur-Ku dalam limpahan-Ku, dan ahli dzikir-Ku dalam nikmat-Ku, tapi ahli maksiat kepada-Ku tidak ada bagian untuk mereka dari rahmat-Ku. Tetapi jika mereka bertaubat maka Aku adalah kekasihnya, dan apabila mereka berdoa maka Aku akan jawab doanya dan apabila mereka sakit, Aku yang akan menyembuhkannya dan Aku akan mengobati mereka dengan ujian dan musibah untuk membersihkan mereka dari dosa-dosa dan cela.”
(
Bihar al-Anwar 77 : 42)

9. KESEDIHAN
Rasulullah saww bersabda, “Apabila seorang mu’min telah banyak dosa-dosanya dan ia belum mengamalkan apa-apa yang dapat menghapus dosa-dosanya maka Allah akan mengujinya dengan kesedihan demi menghapus dosa-dosanya.” (Bihar al-Anwar 73 : 157)

Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya kesedihan itu menghapus dosa orang muslim.” (Bihar al-Anwar 73 : 157)

10. KESUSAHAN DI DALAM MENCARI PENGHIDUPAN (NAFKAH)
Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya ada dosa di antara dosa-dosa yang tidak dapat dihapus dengan shalat dan tidak juga dengan sedekah.”, maka ditanyakan kepada Nabi saww, “Apakah yang dapat menghapusnya wahai Rasulullah?”, jawab Nabi, “Kesusahan di dalam mencari penghidupan.”
(
Bihar al-Anwar 73 : 157)

11. TAQWA, KEJUJURAN, PERBUATAN BAIK, DAN AMAL SHALIH
Allah SwT berfirman, “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia menutupi kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.”
(QS Al-Thalaq [65] ayat 5)

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat
(QS Hud [11] ayat 114)

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min , laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS Al-Ahzab [33] ayat 35)

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(QS Al-Ahzab [33] 70-71)

Lihat ayat-ayat lainnya : QS 34:4; 35:7; 36:11, 67:12

12. AKHLAQ YANG BAIK
Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya akhlaq yang baik itu menghapus kesalahan (dosa) sebagaimana matahari mencairkan es dan sesungguhnya akhlaq yang buruk itu merusak amal (baik) sebagaimana cuka merusak madu.” (
Bihar al-Anwar 71 : 356)

Rasulullah saww bersabda,“4 hal yang dapat menghapus dosa dan Allah gantikan dengan kebaikan : 1. Shadaqah, 2. Malu, 3. Akhlaq yang baik, 4. Rasa syukur.” (Bihar al-Anwar 71 : 332)

13. MEMPERBANYAK SUJUD
Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saww dan berkata,“Wahai Rasulullah, telah banyak dosa-dosaku tapi sedikit amalku,” maka Rasul saww bersabda, “Perbanyaklah sujud karena sujud itu menggugurkan dosa sebagaimana angin menggugurkan dedaunan dari pohon (Bihar al-Anwar 85 : 162)

14. HAJJI DAN UMRAH
Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saww telah bersabda, Dari satu umrah ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa yang ada di antara keduanya dan hajji yang diterima (Allah) balasannya adalah surga dan ada suatu dosa di antara dosa-dosa yang tidak dapat diampuni kecuali dengan wukuf di ‘Arafah.” (Bihar al-Anwar 99 : 50)

Imam Ali as berkata, ”Menjalani hajji ke Bait Allah dan umrahnya, keduanya menghapus kefakiran dan mencuci dosa.” (Nahjul Balaghah, Khutbah ke 110)

15. BERDOA, BERISTIGHFAR DAN BERZIKIR
Al-Quran yang mulia mengatakan : “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al-Nisa [4] ayat 110)

16. BANYAK MEMBACA SHALAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD DAN KELUARGANYA
Imam Ali Ar-Ridha as berkata, “Barangsiapa yang belum mampu untuk menghapus dosa-dosanya maka perbanyaklah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, karena yang demikian itu dapat merontokkan dosa serontok-rontoknya” (Bihar al-Anwar 94 : 47)

17. HIJRAH, BERJIHAD DI JALAN ALLAH & MENAMPUNG KAUM MUHAJIRIN *]
Al-Quran yang mulia mengatakan :”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya : “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain . Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS Ali Imran [3] ayat 195)

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan , mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki yang mulia.” (QS Al-Anfal [8] ayat 74)

Lihat juga ayat-ayat : QS Al-Shaff [61] : 11-12;

18. KEMATIAN
Rasulullah saww bersabda, “Kematian dapat menjadi penebus dosa-dosa orang-orang beriman.” (Amali lil-Mufid, h. 166)

“Tidak ada do’a mereka selain ucapan:
“Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami
dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan
dalam urusan kami
dan tetapkanlah pendirian kami,
dan tolonglah kami terhadap kaum yang ingkar.

(QS Ali Imran [3] ayat 147)

“Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami mendengar
(orang) yang menyeru kepada iman :
“Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”,
maka kamipun beriman.
Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami
dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami,
dan wafatkanlah kami beserta
orang-orang yang banyak berbakti.”

(QS Ali Imran [3] ayat 193)

Amin ya Ilahi Rabbi…

Catatan Kaki :

*] Tentu saja Jihad yang dimaksud dalam ayat ini tidak seperti yang dipahami oleh kaum Wahabi-Salafy dan kelompok teroris lainnya.

Sumber : qitori

Sufizone & Hikamzone By Pondok Pesantren Subulus Salam : www.ppsubulussalam.co.cc


READ MORE - sufizone : 18 Hal Yang Membuat Dosa Dapat Diampuni Dan Dihapuskan

Share

Share |

Artikel terbaru

Do'a

اللهم إني أسألك إيمانا يباشر قلبي ويقيناً صادقاً حتى أعلم أنه لن يصيبني إلا ما كتبته علي والرضا بما قسمته لي يا ذا الجلال والإكرام

Translation

Artikel Sufizone

Shout Box

Review www.sufi-zone.blogspot.com on alexa.com How To Increase Page Rankblog-indonesia.com blogarama - the blog directory Active Search Results Page Rank Checker My Ping in TotalPing.com Sonic Run: Internet Search Engine
Free Search Engine Submission Powered by feedmap.net LiveRank.org Submit URL Free to Search Engines blog search directory Dr.5z5 Open Feed Directory Get this blog as a slideshow!